“Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan,” oleh Soe Hok-Gie
Meski kini dia telah tiada, nama Soe Hok Gie akan tetap dikenang sebagai salah satu aktivis paling berpengaruh pada masanya. Gie meninggal tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya, yang jatuh pada 17 Desember kala itu. Bersama rekan sependakiannya, Idhan Dhanvantari Lubis, keduanya mengembuskan napas terakhir setelah menghirup gas beracun di puncak Semeru.
Kepergian putera dari Soe Lie Piet ini memang menyisakan duka di hati teman dan sanak-kerabatnya. Namun, apa yang sudah diperjuangkannya semasa hidup telah memberi teladan yang baik bagi generasi muda Indonesia. Terlebih, pemikirannya yang cerdas dan tajam mengenai pergolakan rezim penguasa di tanah air telah membuka mata kaum muda agar lebih meningkatkan kesadaran politik mereka.
Jadi, jika Anda adalah aktivis di kampus yang hanya bisa mengeluh tentang kebobrokan pemerintah, atau hanya bisa turun ke jalan dan berdemo tidak jelas. Cobalah teladani sikap Gie berikut ini, agar Anda tahu bahwa perjuangan seorang demonstran tidak hanya berupa aksi membakar ban dan berteriak nyaring lewat megaphone semata.
1. Tidak hanya mengkritik, tapi ikut memberi gagasan yang membangun
Gie memang dikenal sebagai penulis yang produktif semasa hidup. Sejak kecil, dia dan kakaknya, Arif Budiman, suka mengunjungi perpustakaan dan toko buku di pinggir jalan. Karya-karya sastra yang bisa dikatakan sangat berat dan serius bahkan sering dilahapnya, padahal usianya saat itu masih sangat belia. Kebiasaan itu rupanya telah menempa Gie menjadi pemuda yang memiliki kesadaran politik tinggi.
Tak ingin hanya mengkritik semata, Gie juga selalu menyampaikan gagasan dan pemikirannya yang cerdas namun tajam, tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar.
Kritik pedasnya terhadap kebobrokan pemerintah sering dimuat di koran-koran ternama saat itu, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Tak heran, jika kemudian tulisannya kerap membuat para pejabat kebakaran jenggot karena marah dan merasa tersinggung. Namun, hal itu semata-mata dilakukannya agar para pejabat mau membuka mata dan melihat ke bawah, bagaimana rakyat saat itu sedang menderita dan terbelit kemiskinan.
2. Setiap aksinya tidak pernah ditunggangi kekuasaan
Dalam catatan hariannya, Gie dengan tegas mengatakan kalau dirinya bukan seorang intelektual yang mengejar kekuasaan. Dia hanya ingin menuntut kebenaran. Itulah mengapa ketika banyak mahasiswa menjual ideologinya pada sebuah kekuasaan dan lebih memilih tunduk pada partai atau penguasa, Gie mengkritik keras tindakan tersebut.
Ketika dirinya menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia, Gie sangat tidak setuju dengan kehadiran organisasi ekstra kemahasiswaan yang merupakan antek partai. Sikapnya yang menolak keras itu bukan tanpa sebab. Para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi tersebut kerap memaksakan kehendak dan cara pikir. Mereka seperti berusaha mengendalikan dan menyetir mahasiswa lain yang belum sehaluan dengan mereka. Akibatnya, suasana kampus pun menjadi tidak menyenangkan.
Peristiwa itu kemudian mendorong Gie untuk membentuk sebuah gerakan mahasiswa independen di kampus. Bersama kawan-kawannya yang memiliki pandangan sama, Gie lantas mengusulkan nama Herman O Lantang untuk dicalonkan sebagai ketua senat fakultas sastra. Ditunjang dengan kepopuleran Herman di kalangan mahasiswa dan juga dukungan Gie beserta mahasiswa yang mengusung gerakan independen tersebut, Herman akhirnya terpilih sebagai ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah gebrakan besar, mengingat pengaruh organisasi ekstra kala itu sangat kuat pada kehidupan mahasiswa.
3. Meski berbeda pandangan, Gie tak pernah membenci lawannya
Gie memang dikenal dengan sikapnya yang keras dan tajam, terutama jika itu menyangkut ketidakbenaran dan ketidakadilan. Namun, dia tidak pernah sekali pun menyimpan dendam atau rasa benci terhadap orang-orang yang tak satu perahu dengannya. Gie memang genjar menyerang PKI dengan kritik pedasnya, tapi di lain pihak, dia juga menjadi orang yang paling lantang dalam mengecam aksi pembantaian PKI.
Seperti misalnya, saat rezim Soekarno berhasil diturunkan dan kemudian Orde Baru mulai berkuasa, Gie tidak lantas bisu dengan ketidakadilan yang dilihat dan didengarnya. Dia tetap tajam dalam mengkritik pemerintah Soeharto. Tapi perlu diketahui, Gie tak pernah sekali pun membenci lawannya. Sikapnya yang terbuka dan suka berterus-terang memang terkadang membuat orang-orang yang dikritiknya merasa marah. Sebaliknya, banyak pula yang bersimpati dengan sikap Gie yang berprinsip dan tegas itu.
Dalam catatan hariannya, Gie juga “berpesan”, jika dia ingin melihat para mahasiswa, jika sekiranya mereka mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, sekecil apa pun itu, sepatutnya selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Bukan didasarkan pada kebenaran yang diambil atas dasar agama, ormas, atau golongan tertentu.
BACA JUGA: Soe Hok Gie, Aktivis Sosialis yang Menjadi Kawan Dekat Prabowo Subianto Saat Muda
Sudahkah Anda meneladani sikap Gie? Agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar, mahasiswa harus bersatu-padu untuk membangun negeri. Jangan hanya berteriak saja, tanpa memberi solusi. Jadilah generasi muda yang cerdas dan kreatif, sehingga kelak negeri ini bisa menjadi bangsa yang disegani di dunia. Selamat Jalan Gie! Doa kami menyertaimu.