Sebagai seorang Muslim, sudah menjadi hal yang wajib hukumnya untuk mempelajari ilmu agama. Ibarat ingin mendirikan sebuah rumah, kita butuh yang namanya bahan bangunan. Nah, bahan bangunan dari sebuah rumah itu dianalogikan sebagai agama. Tanpanya, tentu tidak akan berdiri sebuah bangunan. Mungkin kita punya tanah, tapi hidup di atas tanah takkan pernah lebih seenak tinggal di dalam rumah. Benar begitu, bukan?
Cara orang-orang mempelajari ilmu agama pun macam-macam. Ada yang cukup dengan mendatangkan seorang guru, membaca, atau cara lain yang banyak dipilih yakni nyantri alias mondok di pesantren. Menjadi santri sendiri banyak suka dukanya. Sukanya mungkin kita jadi banyak teman, kenal sama kyai atau ustad kondang, bisa belajar ilmu agama secara mendalam dan sebagainya. Dukanya tentu banyak sekali, dan semuanya cukup menguji mental dan fisik.
Berikut adalah beberapa hal duka atau bisa dibilang penderitaan yang dialami oleh mereka yang nyantri. Anak santri pasti sudah kenyang dengan semua ini.
1. Pisah dari Orangtua Dalam Waktu yang Lama
Berpisah dengan orangtua kadang jadi hal yang tidak mengenakkan hati. Apalagi bagi yang sudah menganggap orangtua seperti teman atau sahabat. Namun sudah menjadi risiko nyantri kalau harus berpisah dengan mereka, ayah dan ibu.
Hari pertama adalah yang paling menyiksa anak pesantren. Namun beberapa minggu kemudian, sudah tidak berat lagi terpisah dengan orangtua meskipun kangen sudah di ubun-ubun. Momen paling ditunggu tentu saja ketika liburan panjang dan kemudian pulang ke rumah. Kadang kunjungan orangtua ke pondok juga jadi kejutan tersendiri. Intinya, terpisah dengan orangtua adalah siksaan, dan semua anak pesantren merasakan itu.
2. Bangun Malam dan Sholat
Biasanya jika di rumah kita bisa tidur pulas sampai kadang lupa sholat subuh, di pesantren hal tersebut takkan pernah terjadi. Jangankan meninggalkan sholat subuh, kita bahkan akan dibangunkan tengah malam hampir tiap hari. Tujuannya adalah untuk melaksanakan sholat malam.
Tentu saja ini menyiksa sekali apalagi di hari-hari awal mondok. Silakan tanya anak-anak pesantren, di momen seperti itu mereka pasti ngebet ingin pulang. Apalagi yang dulu mondoknya masih usia SD atau SMP. Namun begitu, kebiasaan ini membuat kita terbiasa untuk bangun malam sendiri untuk beribadah.
3. Hidup mandiri Tanpa Bergantung Pada Siapa pun
Nyantri artinya kita harus siap untuk hidup mandiri. Nyuci sendiri, bersihkan kasur sendiri, pokoknya apa-apa selalu dilakukan sendiri. Bagi yang sebelumnya sudah mandiri, tentu hidup seperti ini takkan pernah jadi masalah. Tapi, bagi yang manja ketika di rumah, nyantri akan sangat menyiksanya.
Namun ini hanya masalah waktu saja hingga akhirnya terbiasa dengan ritme dan menjadi pribadi yang baru. Pesantren memang efektif untuk mengubah hal-hal seperti ini. Banyak cerita anak-anak manja kemudian jadi sangat mandiri dan penuh inisiatif setelah dari pondok.
4. Kadang Harus Hidup Prihatin
Tak semua orangtua mampu mengirim anaknya untuk mondok di pesantren besar dan mahal. Sebagian hanya sanggup mengirim anak-anaknya ke pesantren yang ada di pelosok-pelosok. Kalau pesantren besar sih kita tak perlu bicara penderitaan karena mereka sudah nyaman. Yang prihatin adalah mereka yang mondok di tempat yang bersahaja.
Ya, jangan mikir nyaman deh karena di sini kita harus benar-benar hidup apa adanya. Makan seadanya, tidur sepantasnya dan kadang fasilitas yang kurang layak. Meskipun begitu sengsara, namun biasanya ilmu yang didapatkan lebih bermanfaat dan takkan mudah lupa. Mondok sejatinya memang belajar, sedangkan hal-hal yang di luar konteks belajar hanyalah pendukung saja.
5. Berbagi Hukumnya Wajib
Di pondok ada sebuah sistem kepemilikan yang unik, di mana milikku ya milikmu dan milikmu adalah milikku. Makanya, sudah tak heran lagi kalau di pesantren pinjam meminjam barang pribadi adalah hal yang lumrah. Ada juga sih yang pelit dan individualis, tapi biasanya yang seperti ini bakal dijauhi teman seangkatan.
Masih soal berbagi, hal ini juga berlaku saat orangtua berkunjung dan membawa sesuatu. Hukumnya wajib bagi mereka yang kedatangan tamu untuk membagi bingkisannya ke semua teman. Minimal yang satu kamar. Yang lain pun juga begitu, harus berbagi ketika kirimannya datang. Memang kadang tidak ikhlas sih, tapi hal ini berdampak kepada kebiasaan berbagi yang kuat. Uniknya, para orangtua seakan tahu jika teman-teman anaknya akan berbuat demikian. Makanya, biasanya mereka juga membawa bingkisan lebih.
6. Penyakit Kulit Jadi Teman Sampai Lulus
Ada sebuah jargon unik yang populer di kalangan santri. Bunyinya kira-kira seperti ini, “Belum jadi santri kalau tidak pernah gatal-gatal.” Memang lucu kedengarannya, tapi ini fakta. Penyakit kulit sudah seperti ospek yang harus dilewati oleh setiap santri.
Sebenarnya ini bukan semacam kutukan atau sejenisnya, ini lebih ke arah minimnya kesadaran para santri untuk hidup lebih higienis. Walaupun begitu, gatal-gatal ini jadi cerita unik yang takkan mudah dilupakan.
7. Masalah Senioritas yang Kental
Senioritas memang sepertinya tak bisa lepas dari institusi apa pun, bahkan termasuk pesantren. Ya, di pesantren kita sudah pasti punya kakak tingkat, dan seperti kakak tingkat biasanya, kadang mereka merasa superior. Mereka tidak nyiksa sih, hanya saja seringkali memanfaatkan adik-adik tingkatnya.
Entah disuruh ini itu, dimintai tolong membelikan sesuatu dan semacamnya. Meskipun seperti itu kadang-kadang, para senior juga tak segan untuk berbagi ilmu. Bahkan pertemanan dengan kakak kelas ini bisa bertahan sampai kapan pun. Kadang ketika masing-masing sudah punya hidup sendiri, pasti mereka tetap saling mengingat satu dan lainnya.
Nyantri memang banyak banget penderitaan. Namun ini sebenarnya semacam gemblengan mental sebelum akhirnya lulus dan mengemban misi dakwah sebagai dai. Sejatinya, belajar memang butuh perjuangan. Jika sekolah yang hanya untuk kepentingan duniawi kita bisa sering dibuat susah. Apalagi ilmu agama yang jadi bekal kita untuk hidup di akhirat nanti.