Jika Anda besar di era 90-an, Anda pasti tahu Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron yang tayang pertama kali pada tahun 1994 ini disutradarai dan dibintangi oleh aktor kondang, Rano Karno sebagai pemeran utamanya. Sinetron ini juga dibintangi seniman besar Betawi, Benyamin Sueb.
Meski sama-sama berupa sinetron, Si Doel Anak Sekolahan memiliki beberapa kualitas yang jauh lebih tinggi dibanding sinetron manapun yang diproduksi di tahun 2000-an hingga sekarang. Berikut Boombastis akan membahas, mengapa Si Doel Anak Sekolahan layak tonton dibandingkan sinetron lainnya.
1. Ceritanya Sangat Realistis
Cerita dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) sangatlah realistis dan dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Kita tentu sering melihat sebuah keluarga berjuang mati-matian untuk menyekolahkan anaknya hingga bergelar sarjana. Dan setelah meraih gelar sarjana, si anak tersebut masih harus berjuang dan bersaing mencari kerja.
Di sinilah letak realistisnya SDAS. Kita ditunjukkan masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari, bagaimana cara pandang masyarakat. Di sana juga disisipkan kritik sosial kepada pemerintah, di mana orang yang pintar dan bergelar sarjanapun, bisa kesulitan mencari pekerjaan. Sementara, sinetron saat ini sangat jauh dari realita. Ada remaja yang bisa berubah jadi serigala, dan sekelompok orang yang bisa jadi harimau, apa dong namanya kalau bukan tidak realistis?
2. Karakter yang Dibangun dengan Sangat Matang
Di SDAS, karakter tidak hanya dibagi jahat dan baik. Malah, kebanyakan karakternya berada di daerah “abu-abu”. Karakter Dul, misalnya. Meski sangat berpendidikan dan sopan pada orang tua, namun dia sangat keras kepala. Karakter Babe, meski mendukung penuh cita-cita anaknya, namun terkadang punya cara bicara yang menyakitkan hati. Penggambaran karakternya sangat sesuai dengan kehidupan nyata. Dalam kehidupan nyata, seseorang tidak mungkin 100% jahat atau 100% baik, karena masing-masing manusia punya sifat baik dan buruk.
Jika dibandingkan dengan sinetron jaman sekarang, karakter hanya dibagi atas baik dan buruk. Si karakter baik akan menjadi orang baik yang benar-benar sempurna, tidak pernah marah dan selalu bersabar hingga akhir episode. Sementara karakter jahat akan menjadi raja tega dan selalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran jahat hingga akhir episode (biasanya akan berakhir dengan kematian atau pertobatan). Karakter-karakter semacam itu adalah contoh nyata dari malasnya seorang penulis skenario membuat karakter yang beda.
3. Memperkenalkan Budaya Indonesia
Tidak hanya kaya dengan karakter yang berbeda-beda, SDAS juga kaya dengan pengenalan seni dan budaya Indonesia. Keluarga Doel sangat kental dengan tradisi Betawi seperti tanjidor dan lain-lain. Sementara Basuki, seorang pendatang dari Jawa sangat terkenal dengan kepolosannya.
Selain budaya, mereka juga menggambarkan pentingnya toleransi antar-suku. Basuki yang bersuku Jawa diterima dengan baik oleh keluarga Doel. Demikian juga Sarah, tokoh yang diperankan Cornelia Agatha, yang merupakan gadis kota, tapi menghargai nilai-nilai budaya di kampung tempat tinggal Doel.
4. Penuh Pesan Moral
Pesan moral dari sebuah karya seni bukanlah semata-mata mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk. Pesan moral dapat dilihat dari bagaimana seorang karakter menyikapi jika ada kejadian buruk terjadi dalam hidupnya. Pelajaran-pelajaran seperti itulah yang membuat sebuah karya seni menjadi bermakna.
Dibandingkan dengan sinetron sekarang, jarang sekali yang memberikan pesan moral. Yang ada, karakter baik selalu ditindas dan memiliki kesabaran yang tidak logis. Sementara karakter jahat juga memiliki segudang niat dan cara jahat untuk menjatuhkan si tokoh baik. Sulit sekali untuk mengambil pesan moralnya.
5. Tidak Melulu Soal Cinta dan Persaingan
Sinetron sekarang rata-rata berkutat dengan permasalahan asmara. Tokoh A jatuh cinta kepada tokoh B, tapi tokoh B ternyata berasal dari kalangan keluarga tertentu. Dan begitu seterusnya. Kalau bukan soal asmara, biasanya sinetron sekarang bercerita soal persaingan satu geng dengan geng lain.
Sangat beda dengan SDAS. Sinetron ini bercerita tentang keputusan hidup, pandangan masyarakat tentang pengangguran, kesenjangan sosial dan kesederhanaan dalam sebuah keluarga. Meskipun dibumbui oleh kisah asmara, namun, SDAS bukanlah sinetron yang cinta melulu.
Sayang sekali, sang maestro seni Betawi telah meninggalkan kita. Rano Karno juga dikabarkan sedang mengalami gangguan kesehatan. Sementara tokoh Nyak di Doel juga mengalami kondisi kesehatan yang kurang baik. Namun, karya mereka dalam SDAS sudah berhasil mencuri hati banyak orang.
Semoga untuk ke depannya ada pembuat sinetron yang benar-benar memikirkan kualitas karyanya. Tidak hanya menjual tampang ke-indo-indo-an para seleb muda. Dan tidak hanya mengumbar kisah cinta. (HLH)