Kamis (20/3/2025) pukul 03.00 WIB, saat asyik scrolling media sosial X sambil sahur, mata tertambat pada postingan akun @barengwarga. Sejak pukul 00.21 WIB dini hari tadi mereka menginisiasi sebuah ‘gerakan’ untuk menutup akses masuk ke gedung DPR.
Mereka menyebarkan beberapa video dan meminta dukungan kepada warganet untuk ikut bergabung, memasang tenda di bawah Gerbang Pancasila agar siang nanti tidak ada pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang menimbulkan polemik di masyarakat.
Mengapa Revisi Undang-Undang ini begitu kontroversi hingga muncul gerakan masyarakat yang menolaknya?
TNI masuk ranah publik, sudahkah pantas?
Ada tiga poin penting yang harus kita perhatikan pada Revisi Undang-Undang TNI. Pasal 3 yang mengatur tentang kedudukan TNI, Pasal 53 mengenai batas usia pensiun, dan Pasal 47 terkait dengan prajurit aktif yang bisa menduduki jabatan sipil.
Dari pandangan Koalisi Masyarakat sipil, RUU TNI memiliki celah untuk kembali lahirnya dwifungsi ABRI yang bisa berdampak pada kualitas atau kebebasan demokrasi. Tak hanya itu, kecurigaan masyarakat juga berdasar karena DPR RI terkesan menutup-nutupi, termasuk rapat tertutup yang dilakukan di Hotel Fairmont beberapa hari lalu.
RUU TNI Didukung DPR, ditolak rakyat
Meski DPR RI mengaku tidak sedang tergesa-gesa, sudah terlanjur masyarakat curiga. Tidak heran, meski mendapat dukungan dari fraksi-fraksi DPR, penolakan tetap terjadi di akar rumput, yang mana salah satunya diwakili oleh Koalisi Masyarakat Sipil.
Silang pendapat terus terjadi, terutama dari mereka yang tidak ingin kekuatan-kekuatan sipil ada di bawah kendali TNI. Di media sosial ramai dukungan dan penolakan, terutama dari para public figure yang tampaknya semakin melek demokrasi.
Apakah DPR sedang ‘test the water’?
Kritikan tajam masyarakat kepada DPR diwakili oleh para influencer di media sosial. Lewat media sosial X, komedian Pandji Pragiwaksono mempertanyakan statement dari Stafsus Menhan, Deddy Corbuzier. Ia meng-counter video rilisan mantan pesulap kondang yang hanya fokus pada tindakan segelintir masyarakat yang berusaha melakukan interupsi rapat RUU TNI di Hotel Fairmont, bukan pada masalah mengapa wakil rakyat rapatnya diam-diam.
Sementara itu, aktor Fedi Nuril, dianggap melakukan hoax oleh seorang netizen dengan nama akun @are_inismyname karena menyebarkan isi draf Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang salah di media sosial. Padahal, lewat postingan di @realfedinuril, lakon film Ayat-Ayat Cinta tersebut mengaku bahwa draft itu didapatkan dari laman resmi DPR.
Info tambahan datang dari influencer @jorgianaaa dan @aromapetrikor yang mempertanyakan ketegasan DPR RI saat rilis data terkait RUU TNI. Mereka menangkap kejanggalan, sekaligus menyimpulkan pola terselubung DPR, rapat diam-diam, draft-nya sulit diakses, lalu merilis revisi versi terbaru ketika masyarakat sudah resah dan marah. Alhasil, mereka yang bersuara pada masalah sebelumnya dianggap sebagai penyebar hoax karena kritikannya tidak sesuai.
Apa benar begitu, para Wakil Rakyat yang terhormat?
DPR bantah ada rencana terselubung di balik pembahasan RUU TNI
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah bahwa rapat di Hotel Fairmont demi mempercepat pengesahan RUU TNI. Anggota DPR dari Partai Gerindra tersebut menegaskan bahwa itu adalah rapat terbuka.
Dasco juga menolak anggapan bahwa DPR menutup pintu publik dalam proses revisi UU TNI. Menurutnya, RUU TNI sudah berjalan lama, dari beberapa bulan lalu, bahkan melibatkan partai yang saat ini cenderung ‘oposisi’ kepada pemerintah, yaitu PDI-P. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya kader PDI-P, Utut Adianto sebagai Ketua Panja dari RUU TNI di DPR.
Apakah masih ada asa bagi rakyat jelata?
Siang ini RUU TNI rencananya akan disahkan oleh DPR RI. Belum ada ketok palu, tapi sebagian masyarakat berharap draft ini tak sampai ke permukaan. Seperti keresahan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra yang menuntut penundaan pembahasan RUU TNI. Pasalnya, proses dan substansinya masih banyak yang menimbulkan pertanyaan.
Dikutip dari kompas.com, Dimas berharap agar DPR lebih berpihak kepada rakyat, memberi ruang yang lebih luas untuk aspirasi dan masukan. Baginya, dwifungsi militer tidak hanya dimaknai militer melakukan politik praktis, tapi mengemban tugas-tugas di luar tugas pokok utamanya sehingga berpotensi menghambat fungsi utama.
Jadi, masihkah ada asa bagi rakyat jelata, berkontribusi membangun bangsa? Atau justru terus jadi korban kebijakan, sementara keadilan hanya untuk pihak-pihak tertentu saja?