Membahas masalah korupsi di Indonesia memang tidak ada habisnya. Sering kali kita mendengar ada saja kasus korupsi yang baru. Belum selesai kasus yang satu, eh sudah ada lagi kasus korupsi muncul. Tidak jarang dalam sebuah kasus korupsi, biasanya akan menyeret nama-nama pelaku yang lainnya.
Kenapa sih budaya korupsi susah hilang di Indonesia? Pertama karena manusianya yang serakah dan hukum yang lemah terhadap para koruptor. Seperti pada kasus 5 korupsi berikut ini. Bukannya hukuman para koruptor diperberat, eh malah hukumannya dikurangi. Siapa saja koruptor sih yang dapat keringanan hukuman? Yuk langsung baca saja artikelnya.
Kasus korupsi Djoko Tjandra
Djoko Tjandra merupakan seorang pengusaha yang namanya kerap dikaitkan dengan kelompok bisnis Grup Mulia. Ia juga menjabat sebagai Direktur PT Era Giat Prima di perusahaan miliknya sendiri. Namun kini ia menjadi pesakitan, lantaran terjerat kasus pengalihan hak tagih Bank Bali dan divonis 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp100 juta subsider 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus Djoko Tjandra, negara dirugikan hingga Rp900 miliar. Namun bukannya diperberat, tapi hukuman Djoko Tjandra malah dipangkas, dari 4 tahun 6 bulan, menjadi 3,5 tahun saja. Alasannya, karena ia telah menjalani pidana penjara atas kasus hak tagih Bank Bali. Selain itu, ia telah mengembalikan dana yang ada di dalam Escrow Account atas nama rekening Bank Bali, PT. Era Giat Prima miliknya sebesar Rp546.468.544.738.
Kasus pencucian uang Pinangki Sirna Malasari
Kasus Pinangki ini masih ada kaitannya dengan kasus Djoko Tjandra. Diketahui Pinangki adalah seorang jaksa, yang menjadi makelar kasus agar terpidana Djoko Tjandra terbebas dari hukuman penjara. Padahal pada saat itu, status Djoko Tjandra adalah buron. Atas perbuatannya tersebut, Pinangki dihukum penjara selama 10 tahun.
Meski telah ikut merugikan negara karena kasus pencucian uang tersebut, hukuman Pinangki justru dikurangi. Dari awalnya 10 tahun, menjadi hanya 4 tahun saja dan denda sebesar Rp600 juta. Keringanan ini ia peroleh karena Pinangki telah mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya. Ia pun telah rela kehilangan jabatannya dan pekerjaannya sebagai jaksa.
Keterlibatan Lucas dalam Kasus Lippo
Kasus berikutnya menimpa seorang pengacara bernama Lucas, yang didakwa membantu pelarian salah satu petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro. Saat itu Eddy terjerat kasus suap kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lucas dengan sengaja memberikan kelonggaran terhadap ruang gerak Eddy Sindoro agar dapat bepergian ke luar negeri tanpa proses pemeriksaan imigrasi.
Akibat perbuatannya, penyidik hukum kesulitan memeriksa Eddy. Pada Maret 2019, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Lucas 7 tahun penjara, ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun berselang 3 bulan, Pengadilan Tinggi DKI mengurangi hukuman Lucas menjadi 5 tahun. Alasannya adalah tidak terjadi disparitas hukuman antara Lucas dan kliennya, yakni Eddy Sindoro. Lalu Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengurangi jumlah hukuman menjadi 3 tahun penjara saja.
Kasus e-ktp yang bikin heboh
Koruptor selanjutnya yang dikurangi hukumannya adalah Irman dan Sugiharto dalam kasus korupsi KTP elektronik. Awalnya Irman divonis 15 tahun penjara, berkurang hukumannya menjadi 12 tahun. Sementara Sugiharto divonis 15 tahun penjara, menjadi hanya 10 tahun penjara saja. Irman adalah mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, sedangkan Sugiharto merupakan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil.
Pengurangan hukuman ini atas pertimbangan, bahwa keduanya membantu penyidik dalam memberikan keterangan dan bukti-bukti kuat, sehingga dapat mengungkap pelaku utama kasus korupsi e-KTP tersebut. Melalui pertimbangan inilah, MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK).
Anas Urbaningrum dapat diskon hukuman
Anas Urbaningrum adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi tersangka atas kasus korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Atas dasar dakwaan tersebut, Majelis Hakim kasasi pimpinan Artidjo Alkostar memvonis 14 tahun penjara. Anas juga wajib membayar denda Rp5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Ia juga wajib membayar Rp57.592.330.580 sebagai uang pengganti kepada negara.
Dinilai terlalu memberatkan dirinya, Anas pun mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Juli 2018. Pengajuannya pun dikabulkan Majelis Hakim PK pada September 2020, sehingga Anas hanya divonis penjara selama 8 tahun dengan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan 3 bulan.
BACA JUGA: Punya Gedung Mewah, Inilah Alasan Koruptor Djoko Tjandra Nyaman ‘Sembunyi’ di Malaysia
Seharusnya penegak hukum di Indonesia banyak belajar dari negara-negara lain yang sangat tegas memberikan hukuman terhadap koruptor, sehingga jumlah kasus korupsi bisa berkurang. Pantas saja kasus korupsi di Indonesia tidak pernah berkurang, karena selalu dapat diskon hukuman. Bagaimana menurutmu?