Pergolakan politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an menyisakan dampak yang sangat luas. Mulai dari gerakan makar G30S/PKI hingga lengsernya Sukarno dari kursi kepresidenan, peristiwa tersebut juga berimbas pada alutsisa militer seperti helikopter Mi-6 buatan Uni Sovyet milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Di era Sukarno, kekuatan udara AURI memang sangat disegani oleh banyak negara di dunia. Keberadaan Helikopter Mi-6 sendiri menjadi salah satu dari sekian alutsista buatan buatan Uni Sovyet yang turut memperkuat pertahanan udara Indonesia. Sayang, nasibnya harus berakhir tragis akibat pergolakan politik di tanah air.
Helikopter buatan Uni Sovyet yang didatangkan untuk memperkuat AURI
Pada tahun 1960-an, AURI mendapat kesempatan mendatangkan 11 unit (beberapa sumber menyebut sembilan dan enam unit) Mi-6 yang merupakan heli angkut terbesar di dunia. Alutsista buatan Pabrik Helikopter Mil di Moskva pada 1957 tersebut , termasuk heli pertama yang bertenaga turboshaft dengan kecepatan hingga 300 kilometer per jam.
Kedatangan helikopter yang mampu mengangkut 90 orang dan beban maksimal 12 ton itu, membuat AURI kemudian membentuk Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan melalui SK Menpangau Nomor 12 tahun 1965, tertanggal 11 Februari 1965. Dilansir dari Historia, skadron ini kelak menjadi Skadron 8 di bawah naungan Wing Operasi 004.
Dilibatkan dalam berbagai misi penting yang berjasa pada negara
Keberadaan Mi-6 sebagai helikopter angkut berat sangat dibutuhkan untuk menunjang serangkaian operasi militer yang terjadi pada saat itu. Terlebih, posisi Indonesia tengah dihadapkan dalam berbagai ‘pertarungan’ dengan Belanda maupun Malaysia yang kala itu dibantu oleh Inggris.
T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja 1950-2003, menuliskan bahwa helikopetr Mi-6 ikut diterjunkan dalam berbagai operasi seperti (masa-masa akhir) Trikora, hingga Dwikora dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia di Kalimantan.
Disingkirkan setelah dan diganti dengan heli buatan AS saat Suharto berkuasa
Peristiwa penculikan tujuh jenderal Angkatan Darat dan pemberontakan G30S/PKI pada 1965 menjadi akhir bagi Mi-6. Naiknya Suharto menggantikan Sukarno sebagai bentuk transisi rezim Orde Lama ke Orde Baru, membuat alutsista tersebut tak berdaya karena kekurangan suku cadang. Imbasnya, Mi-6 pun di-grounded pada 1968.
Kekuatan udara yang berkurang setelah Mi-6 di-grounded, kemudian berujung pada pembekuan Skadron 8 yang selama ini menaunginya pada 1971. Dampak politik yang sangat terasa pasca-Peristiwa 1965, membuat rezim Orde Baru menyingkirkan semua alutsista buatan Uni Sovyet dan menggantinya dengan heli-heli dari Amerika Serikat.
Helikopter legendaris yang berakhir dengan cara yang tragis
Kadispers Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo, merupakan saksi mata dari tersingkirnya Mi-6 dari arsenal AURI. Menurut dirinya, semua sisa helikopter kemudian dipereteli (scrap) menjadi jadi panci, alat penggorengan, dan perabotan rumah tangga hingga menyisakan sebilah tail-rotor (baling-baling ekor) yang kini tersimpan di museum.
Hal senada juga diungkapkan oleh Marsda Tatang Kurniadi. Sekitar tahun 1975, dirinya menyaksikan deretan Mi-6 tengah diparkir dan dipreteli satu persatu dan bagian-bagian badan helikopter dibakar di api unggun. Menurut Tatang, nasib Mi-6 layaknya armada jet bomber Tupolev Tu-16 Badger dan kapal penjelajah berat KRI Irian, yang tersingkir karena alasan politis.
BACA JUGA: Kisah Pria Asal Rusia yang Berjasa Untuk Militer RI Hingga Jadi yang Terkuat di ASEAN
Nasib alutsista buatan Uni Sovyet yang sempat memperkuat AURI pada masanya, memang benar-benar berakhir setelah pemerintahan beralih ke era Orde Baru Soeharto. Sejumlah jet Mig, pembom Tu-16, hingga, helikopter M0i-6 di atas, adalah bukti nyata betapa ganasnya pergolakan politik yang ujung-ujungnya mengorbankan kekuatan militer RI hanya karena dianggap buatan Uni Sovyet yang dicap ‘kiri’.