Setelah tahunan berlalu tanpa ada kejelasan, kasus penyiraman air keras di wajah Novel Baswedan kini memasuki babak baru. Ada dua sosok yang sudah menjadi tersangka dan diamankan oleh kepolisian. Sosok bernama Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis adalah dua orang anggota aktif kepolisian.
Penyiraman air keras ini ternyata memang sudah direncanakan dan berdasar pada kebencian pribadi. Sekarang, kasus ini sedang dalam proses, lalu kemarin (11/6) keduanya sudah menjalani sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Meski begitu, banyak yang menilai adanya kejanggalan selama proses sidang berlangsung. Untuk lebih jelasnya, simak dalam ulasan berikut ini!
Penyiraman air keras yang sudah direncanakan
Berdasarkan keputusan dari pengadilan, keduanya terbukti melakukan penganiayaan berat secara terencana. Kedua pelaku memang memantau rumah Novel sebelum melancarkan aksinya. “Tolong dicatat, saya enggak suka sama Novel karena dia pengkhianat.”
Kalimat ini dilontarkan sendiri oleh Rahmat Kadir saat ia digiring ke Polda Metro Jaya beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, meski ia menyebut nama Novel sebagai pengkhianat kepolisian, ia tak pernah memberikan secara rinci motif-motif lain sehingga nekat menyerang koleganya di KPK tersebut.
Hukuman ringan yang diberikan kepada pelaku
Penyiraman wajah Novel ini sendiri hampir masuk dalam list kasus yang sulit karena pelakunya tak jelas –sebelum dua orang ini tertangkap. Sayangnya, keputusan jaksa membuat netizen kecewa, karena jaksa hanya menuntut ringan kedua pelaku dengan hukuman masing-masing 1 tahun penjara.
Tuntutan ringan tersebut karena jaksa menilai keduanya sudah meminta maaf secara sadar, menyesal, kooperatif, serta telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun. Hal yang meringankan lain adalah karena keduanya belum pernah dihukum dan terjerat kasus sebelum ini.
Kejanggalan yang terjadi dalam sidang kasus ini
Meski hukuman ringan berdasarkan beberapa pertimbangan dari jaksa, Tim Advokasi Novel merasa bahwa ada hal-hal janggal yang terjadi selama sidang berlangsung. Yang pertama, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP terkait penganiayaan.
Padahal, ada hal lain yang lebih buruk bisa menimpa Novel, yakni meninggal dunia, hingga pasal yang digunakan seharusnya tentang pembunuhan berencana. Kedua, saksi-saksi penting tidak dihadirkan jaksa di dalam persidangan. Terakhir, penuntut umum sangat terlihat membela pelaku. Sebaliknya, jaksa malah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Novel Baswedan.
Novel Baswedan angkat suara karena merasa tidak adil
Kasus ini sudah bergulir lama dan pelik, saat sudah ditemukan pelakunya, mereka malah dihukum dengan sangat ringan, maka dalam hal ini Novel Baswedan angkat suara selaku korban. Novel mengaku merasa malu akibat terus menerus mengkritisi kecacatan, karena dirinya sejak awal persidangan sudah melihat banyak sekali permasalahan. “Dalam sidang ini begitu nekat, permasalahan di semua sisi terjadi dengan terang. Saya sudah tanggapi dengan tidak percaya sejak awal, hingga malu sebenarnya terus mengkritisi kebobrokan ini,” ujar Novel, melansir kumparan.com.
Ia juga memberikan kritik pedas, bahwa kasus yang tampak buruk penyelesaiannya ini merupakan fakta dari hasil kerja Presiden Jokowi dalam membangun sistem hukum di Indonesia. “Saya malah melihat bahwa Ini fakta hasil kerja presiden Jokowi dalam membangun hukum selama ini,” sindirnya. Hukum Indonesia yang rusak membuat kebobrokan tersebut dipertontonkan kepada publik dengan vulgar.
BACA JUGA: Kisah Novel Baswedan, Penyidik KPK yang Sukses Ungkap Kasus Korupsi Besar di Indonesia
Penyelesaian kasus ini membuktikan bahwa tak adanya keberpihakan hukum terhadap korban kejahatan, malah memberikan sejumlah keringanan kepada orang yang jelas bersalah dan hampir menghilangkan nyawa orang lain. Tak hanya Novel saja yang kesal dengan hal ini, para pakar hukum juga mengkritik tajam hasil kebijakan sidang tersebut. Kalau menurut kalian bagaimana guys?