Karantina adalah suatu hal yang sering kita dengar sejak wabah Covid-19 menjadi pandemi di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia, pemerintah bahkan sempat kewalahan saat melakukan karantina di awal-awal wabah tersebut menyebar di Indonesia.
Jauh sebelum diterapkan di era modern, teknik karantina saat wabah terjadi di suatu wilayah ternyata telah digunakan sejak zaman dahulu. Penggagasnya adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), ilmuwan muslim yang menjadi peletak dasar dari konsep karantina di dunia kedokteran. Selengkapnya, simak ulasan Boombastis berikut ini.
Peletak dasar dari metode karantina saat terjadi wabah menular
Merebaknya wabah menular yang bisa membahayakan nyawa manusia, membuat Ibnu Sina (980-1037) mencetuskan ide karantina guna menghambat penyebaran penyakit terhadap mereka yang sehat. Dirinya menyebut hal ini sebagai al-Arba’iniya (empat puluh), yakni membatasi ruang dan gerak selama 40 hari.
Ibn Sina (Avicenna) was the first to designate a method to avoid contagion through 40-day sanitary isolation. He called the method “al-Arba’iniya” (the fortieth), translated literally to “quarantena” in early Venetian language.
— Abdul Kadir Jailani (@akjailani) April 6, 2020
Para pasien yang dianggap mengidap wabah penyakit menular, kemudian diisolasi dari lingkungan sekitarnya secara ketat selama 40 hari. Lewat metode 40 hari ini pula, Ibnu Sina menggambarkan akan bahaya dari mikroorganisme ‘tak terlihat’ – yang kini dikenal sebagai virus, sebagai penyebab utama dari penyakit yang ada.
Diadopsi ke bahasa Italia yang dikenal sebagai “quarantena”
Kelak, metode yang dicetuskan oleh Ibnu Sina ini diadopsi ke bahasa Italia “quarantena” yang juga berarti “40 hari”. Oleh pemerintah daerah Venesia, quarantena diterapkan pada awak kapal yang berlabuh di pelabuhan Ragusa pada tahun 1400 agar mengurung diri selama 40 hari, guna memastikan mereka bersih dari wabah.
Sebelumnya, kebijakan isolasi tersebut berjalan selama 30 hari (trentino) namun akhirnya diperpanjang menjadi 40 hari (quarantena). Metode ini pun kemudian berkembang luas hingga ke Eropa. Saat wabah Black Death di abad ke-14 dan 15, karantina mulai dikenal sebagai metode yang ampuh untuk mencegah penularan wabah.
Temukan definisi soal adanya mikroorganisme penyebab penyakit menular
Metode al-Arba’iniya Ibnu Sina juga berhubungan dengan temuannya soal mikrooganisme berbahaya (virus). Dirinya menyatakan, “Sekresi tubuh organisme inang (misalnya, manusia) terkontaminasi oleh organisme asing yang tercemar yang tidak terlihat dengan mata telanjang sebelum infeksi.” Ini artinya, Ibnu Sina beranggapan bahwa tubuh manusia bisa sakit karena terinfeksi suatu mikroorganisme asing yang tercemar.
Dengan kata lain, mikroorganisme asing yang tercemar itulah yang kini dikenal sebagai virus di dunia medis modern. Maka dari itu, ia mencetuskan metode al-Arba’iniya atau isolasi diri selama 40 hari. Kelak, ucapan Ibnu Sina dibuktikan oleh ilmuwan Belanda Anton van Leeuwenhoek lewat mikroskop buatannya, bahwa organisme hidup yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, benar adanya.
Sosok ilmuwan yang dikenal akan karya di bidang kesehatan
Sebagai ilmuwan di bidang kesehatan, Ibnu Sina dikenal lewat ensiklopedia medis raksasa yang berjudul al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), yang digunakan secara luas sebagai buku acuan medis standar secara tertulis hingga abad ketujuh belas oleh ilmuwan dan sarjana kesehatan di dunia Barat.
Hingga dunia kedokteran beralih ke era modern, karya Ibnu Sina itu dianggap sebagai peletak dasar di bidang medis. Visinya soal keberadaan mikroorganisme penyebab wabah yang tidak dapat dilihat mata, kemudian membuat dirinya mencetuskan metode al-Arba’iniya (40 hari) untuk mengisolasi atau karantina bagi mereka terpapar penyakit.
BACA JUGA: 5 Penemuan Ilmuwan Muslim yang Dipakai Umat Manusia Hingga Kiamat Tiba
Begitu besar manfaat dan efektivitas yang didapat dari metode karantina, membuat teknik ini masih digunakan secara luas guna menekan penyebaran pandemi seperti Covid-19 saat ini. Meski demikian, karantina yang dilakukan tak harus 40 hari seperti anjuran Ibnu Sina karena menyesuaikan kondisi dan karakteristik wabah yang ada.