Saat ini masyarakat kita sudah punya beragam pilihan sarana hiburan. Kalau dulu cuma di rumah bisa menikmati acara TV, sekarang pulang kerja sambil naik angkot bisa nonton apapun via handphone. Bahkan jumlah penonton TV sebenarnya sempat turun sebelum momen Ramadan dan Pemilu kemarin.
Alasan sekarang banyak orang malas nonton TV salah satunya adalah jemu dengan program layar kaca yang sudah tak se-asique dulu. Mulai dari isinya sensasi, settingan, dangdutan berjam-jam atau adegan-adegan aneh bin ajaib di sinetron. Bahkan kini ada sebagian dari kita yang rela deh bayar Netflix atau beli kuota demi bisa streaming acara yang lebih berkualitas di internet.
Namun kesenangan nonton konten digital sepertinya ‘terancam terusik’ dengan datangnya kabar bahwa KPI akan mulai ikutan jadi pengawas di Youtube, Instagram dan Netflix. Hal ini disambut dengan sinis oleh sebagian netizen. Kebanyakan berpendapat bahwa kinerja KPI di konten pertelevisian saja belum mumpuni.
Kehadiran KPI sebenarnya bertujuan untuk melindungi konsumen pertelevisian dan kepentingan industri, sekaligus mengawasi hadirnya kreativitas di luar batas yang bikin was-was. Misalnya acara yang umbar sensasi dan privasi, tayangan lawak yang berujung bully dan body shaming, hingga aksi-aksi kurang edukatif lainnya. Sayangnya, semua yang disebutkan barusan justru sekarang makin merajalela.
Sebenarnya akan efektif nggak ya bila KPI merambah konten-konten streaming? Atau mendingan pikir-pikir lagi buat lebih fokus aja di penyiaran televisi dan radio?
Youtube dan Instagram sudah punya SOP yang tegas dan ketat
Wahana konten digital di internet saat ini sudah memiliki kebijakan atau community guidelines yang menjadi standar internasional. Misalnya tentang batasan usia yang seringkali ada di regulasi KPI. Fitur di media streaming seperti Youtube dan Netflix sudah sangat membantu para orang tua agar bisa digunakan sesuai usia. Jadi misalnya si kecil mau nonton dan mencet ini itu, mereka hanya bisa menikmati film atau video sesuai usia. Canggih bener kan?
Bahkan foto atau video yang tidak sesuai, misalnya mengandung kekerasan, vulgar, atau akun-akun yang melanggar aturan, bisa dibanned dan lenyap dengan nyata kurang dari 24 jam dari Instagram bila banyak yang melaporkan. Tanpa delay alias nggak pake lama. Dengan kata lain media-media ini sudah memiliki mode dan fitur pengawasan yang mumpuni.
Jumlah dan variasi konten yang tak habis disisir dalam setahun
Berikutnya, bila KPI menceburkan diri pada luasnya konten media streaming macam Youtube, Instagram dan Netflix, bisa jadi bakal pusing tujuh keliling. Ini bagai mencari jarum dalam jerami, bentuknya mirip-mirip, topik dan jumlahnya juga banyaaaak banget. Bakal makan waktu dan makan biaya ekstra.
Dikhawatirkan aturan bawaan KPI belum tentu sesuai dengan preferensi (kecenderungan kesukaan) pengguna internet, baik itu konten kreatornya atau penontonnya yang beragam. Jangan sampai makin bentrok dengan aspirasi nonton pengguna yang sebenarnya baik-baik saja.
Masih banyak PR di ranah pertelevisian
Salah satu kritik yang ditudingkan pada KPI adalah terlalu lunak pada industri televisi. Acara-acara yang pernah ditegur dan berhenti tayang, eh tidak lama akan muncul lagi. Misalnya Dahsyat dan Pesbuker yang sudah langganan kena ciduk KPI hingga sempat berhenti tayang. Belum lagi semakin beraninya infotainment atau program talkshow untuk buka-bukaan privasi artis. Aduh dekk..
Tentu saja masyarakat lebih memilih nonton Youtube atau rela bayar Netflix karena bisa pilih sendiri mau menikmati program apa. Mayoritas tayangan TV saat ini justru kerap dianggap kurang menarik dan jauh dari edukatif. Sekalinya ada acara edukasi, ujung-ujungnya malah jualan dan tayang serentak di beberapa channel. “Halah, iklan!” dengus penonton Indonesia.
Dari pihak KPI, yakni Yuliandre Darwis, menjelaskan akan seperti apa langkah komisinya mengamankan tayangan di Netflix ataupun Youtube. “Enggak akan menghancurkan Netflix, TV di YouTube, bukan. Tapi lebih kepada norma-norma apa saja sih yang harus kita guide ke depannya,” ujarnya. ““Jangan dibiarkan seolah-olah kita ngatur-ngatur, bukan. Kami memberikan pandangan bahwa frekuensi penyiaran itu digunakan ke Indonesia, itu harus begini loh.”
Baiqla, semoga statemen KPI ini bisa agak menyejukkan hati netijen yang sempat geram. Mungkin ada baiknya sih komisi ini lebih mendekat dan mendengarkan aspirasi penonton alih-alih bikin aturan pengawasan melulu. Dimulai dengan lebih tanggap dan komunikatif menjawab keluhan netizen tentang acara-acara TV yang meresahkan di akun media sosial KPI sendiri. Seperti yang dilakukan oleh mimin BMKG misalnya. Well, semoga kita semua tetap bisa nonton tayangan berkualitas dan menghibur ya.