Semasa berkuasa di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, Presiden Soeharto menjadi sosok yang bisa dibilang tak tersentuh oleh siapa pun. Namun, hal tersebut ternyata tak berlaku bagi sosok Wimanjaya K. Liotohe . Pria asal Sangihe, Sulawesi Utara itu, sukses membuat Soeharto murka lewat kritikan tajam lewat karya buku-buku yang ditulis oleh dirinya.
Tak butuh lama bagi Wimanjaya untuk menjadi incaran aparat dan loyalis dari The Smilling General. Dilansir dari tirto.id, dirinya pun lantas menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh tangan-tangan kekuasaan tirani Soeharto. Usahanya dalam mengkritik pada trilogi buku yang dianggap menguak aib penguasa pada saat itu, membuat Wimanjaya bertaruh nyawa di setiap waktu.
Berani kritik Soeharto lewat buku-buku karyanya
Sebagai sosok yang kritis, Wimanjaya yang tak setuju dengan kebijakan Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya, mulai melancarkan kritikannya. Sebagai Akademisi dan bekas kepala sekolah, pria kelahiran Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, tanggal 9 Mei 1933 itu, melancarkan ‘serangannya’ lewat tulisan-tulisan yang kemudian dibukukan.
Salah satunya adalah Primadosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto. Dilansir dari tirto.id, dari sinilah awal Wimanjaya menjadi incaran aparat dan intel-intel Orde Baru. Sebelumnya, ia juga telah menulis tiga buku lainnya yang menjadi trilogi, yakni Primadosa, Primadusta dan Primaduka.
Dianggap ‘orang gila’ dan mulai diincar oleh aparat keamanan
Soeharto yang murka terhadap tulisan-tulisan dalam buku Wimanjaya, kemudian disebut sebagai penulis gila yang ingin menjatuhkan namanya. Isinya memang luar biasa pedas dan menohok batin dari Presiden ke-2 Indonesia itu. Primadosa misalnya. Buku terbitan Yayasan Eka Fakta Kata itu, memuat 1.400 halaman yang seluruhnya mengungkap dosa-dosa Soeharto.
Beberapa bahkan menyinggung Soeharto yang berupaya merebut pemerintahan dari Sukarno, serta usaha untuk mempertahankan kekuasaan selama mungkin dengan menghalalkan segala cara. Geram atas tulisan yang menyudutkannya, Soeharto memerintahkan agar Wimanjaya harus lekas ditangkap. Maka, dimulailah petualangan sang pengkritik yang menjadi incaran intel dan aparat Orde Baru.
Diancam dan akhirnya dipenjara oleh aparat rezim Orde Baru
Sampai pada akhirnya, Wimanjaya berhasil diciduk aparat keamanan pada tanggal 13 April 1994. Kala itu, dirinya diinterogasi dengan tuduhan penghinaan terhadap presiden. Meski disertai dengan ancaman pencekalan dan diancam hukuman penjara selama 7 tahun 4 bulan, tanpa alasan jelas, Wimanjaya kemudian dilepas kembali.
Meski tak jadi masuk bui, gerak-gerik Wimanjaya terus dipantau oleh intel-intel yang disebar di sekitar dirinya. Laman tirto.id menuliskan, ia bahkan hampir mati diracun saat makan di kantin Pengadilan Jakarta Pusat. Hingga pada akhirnya, Wimanjaya ditangkap kembali dan dibui selama 6 bulan 10 hari.
Dibebaskan dan sempat dicalonkan sebagai wakil presiden RI
Beruntung, Wimanjaya akhirnya dibebaskan sebelum Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1997 berlangsung. Pada tahun yang sama, tepatnya 3 September 1997, ia diusung oleh Solidaritas Masyarakat Independen sebagai calon wakil presiden RI periode 1998-2003, berpasangan dengan tokoh perempuan dari Mangkunegaran Solo, Raden Ajeng Berar Fathia.
Nahas, hal ini ternyata membuatnya kembali dijebloskan ke tahanan Mabes Polri sebelum dipindahkan ke LP Cipinang dan meringkuk di sana selama 3 bulan. Padahal, ia tengah berada di rumah orang pada saat itu. Beruntung, rezim Soeharto akhirnya tumbang pada Mei 1998. Wimanjaya pun kembali bebas dan membentuk partai politik yang ia beri nama Partai Prima.
BACA JUGA: 5 Nasihat Menggetarkan dari Soeharto yang Relevan dengan Kondisi Indonesia Pada Saat Ini
Tak banyak sosok yang beruntung seperti Wimanjaya di era kekuasaan pemerintahan Soeharto. Bukan apa-apa, kebanyakan dari mereka yang suka mengkritik rezim Orde Baru kerap menghilang secara misterius alias menjadi korban. Sementara itu, Wimanjaya yang dikenal vokal dalam mengkritik , bisa selamat hingga Soeharto lengser dari jabatannya. Beruntung ya Sahabat Boombastis.