Pada tanggal 17 April 2019, seluruh masyarakat Indonesia akan mempunyai hajatan besar, yakni pemungutan dan penghitungan suara Pileg dan Pilpres yang diselenggarakan secara bersamaan. Tak hanya di Indonesia yang senantiasa hiruk pikuk dengan ajang pesta demokrasi tersebut. Negara adidaya seperti Amerika Serikat juga merasakan ha yang sama.
Meski sama-sama memiliki kegiatan pemilihan umum alias nyoblos secara serentak di seluruh negeri, ada beberapa perbedaan yang mendasar terkait pemilu antara Indonesia dan negeri Paman Sam tersebut. Salah satunya adalah mekanisme yang dilakukan -khususnya untuk kandidat pilpres, memiliki perbedaan yang sangat jauh. Seperti apa bentuknya?
Tingkat Golput yang tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia
Gonjang-ganjing tentang momok Golput (golongan putih) yang sempat mengemuka beberapa waktu silam, turut menjadi masalah klasik yang kerap dihadapi oleh masyarakat Indonesia menjelang tahun-tahun politik seperti pemilu. Meski demikian, Indonesia masih bisa ‘berbangga hati jika dibandingkan dengan Golput yang terjadi di Amerika Serikat. Besar sebagai negara demokrasi tertua di dunia, apa daya partisipan pemilu di negeri Paman Sam itu tergolong rendah.
Berdasarkan data United States Elections Project yang dikutip dari vox.com menuliskan, adanya perbedaan yang cukup menyolok dalam pemilihan jangka menengah AS, di mana pada 2018 tercatat sebanyak 49,3 persen saja yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan. Sementara Indonesia, berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dikutip dari nasional.kompas.com menuliskan, Total nasional tingkat partisipasi sebanyak 73.24 persen dalam Pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak 2018 yang digelar di 171 daerah.
Teknologi yang digunakan dan tata cara memilih yang jauh berbeda
Selain adanya perbedaan pada jumlah partisipan saat memilih, pemilu di Indonesia dan Amerika Serikat juga memiliki cara yang tidak sama dalam mengumpulkan suara masyarakat. Seperti yang kita alami sebelum-sebelumnya, para pemilih di RI menggunakan TPS dengan kertas manual yang dicoblos dengan paku untuk memilih kandidat yang diinginkan.
Berbeda dengan Amerika Serikat, negeri Paman Sam itu menyediakan dua opsi yang berbeda bagi pemilih, yakni nyoblos secara manual maupun elektronik. Seperti yang dikutip dari cbsnews.com negara adidaya itu menggunakan beberapa mesin electronic vote di beberapa TPS yang disediakan, meski dinilai rawan disusupi hacker karena berbasis elektronik. Uniknya, penyelenggara juga memberikan fasilitas nyoblos lewat pos jika pemilih berhalangan hadir langsung di TPS.
Rakyat kedua negara sama-sama terpapar hoaks dan kampanye negatif
Baik Indonesia maupun Amerika Serikat, paparan kampanye yang terkadang diselubungi dengan hoax dan hal-hal negatif lainnya, sama-sama terjadi di tengah-tengah masyarakat kedua negara. Untuk Indonesia, sudah bukan rahasia umum jika berita palsu dan kampanye jahat hasil fabrikasi pihak-pihak tertentu, kerap digunakan untuk saling menjatuhkan kandidat lawan.
Sama halnya dengan Amerika Serikat, negeri adidaya ini juga tak lepas dari tingkah pola para politikusnya yang kerap menggunakan cara-cara kontroversial. Donald Trump adalah salah satu contohnya. Dilansir dari smh.com.au, pria yang kini menjadi Presiden ke-45 AS itu, menggunakan strategi firehose of falsehoods (FoF), di mana cara demikian ditembakkan ke masyarakat AS yang notabene berkultur liberal dan individual, agar menimbulkan kegaduhan dan ketakutan di tengah-tengah masyarakat.
Sistem pemilihan Amerika yang tergolong unik daripada Indonesia
Lain Indonesia, berbeda pula di Amerika Serikat soal tata cara pemilihan pejabat politik. Saat Pilpres berlangsung, masyarakat tanah air bisa langsung memilih pemimpin dan wakil rakyat secara langsung lewat TPS yang ada. Namun, hal tersebut ternyata tidak berlaku di Amerika Serikat. Dilansir dari kumparan.com, masih menggunakan sistem Dewan Pemilih (Electoral College) untuk memilih presiden.
Artinya, warga negara Amerika diminta memilih sejumlah Dewan Pemilih yang dicalonkan oleh Partai. Dari sana, jumlah dewan yang terpilih itulah yang akan memilih presiden secara langsung. Bukan warga biasa yang tidak terlibat dalam politik. Alhasil, cara inilah yang telah mengantarkan Donald Trump terpilih menjadi Presiden ke-45 Amerika di tahun 2016. Meski memiliki jumlah suara sebesar 62,9 juta suara dan kalah dengan Hillary Clinton yang punya 65,8 juta suara, Trump lolos jadi Presiden lantaran memiliki 306 kursi Dewan Pemilih. Sementara Hillary, hanya mengumpulkan 232 kursi Dewan Pemilih.
BACA JUGA: Nostalgia Perbandingan Debat Capres Pertama Tahun 2014 vs 2019, Lebih Panas yang Mana?
Pesta demokrasi yang dilaksanakan bukan hanya semata-mata untuk memilih pemimpin belaka. Lebih dari itu, hajatan politik tersebut sejatinya merupakan bentuk dari suksesnya sebuah negara menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, meski masih ada beberapa kekurangan di sana-sini. Baik AS maupun Indonesia, keduanya terbilang sebagai contoh negara yang berhasil dalam mengumpulkan massa dalam pemilu masing-masing. Terlepas dari perbedaan yang ada