tirto.id
Isu kekuatan militer Indonesia, sempat mengemuka dan menjadi bahasa serius pada ajang debat capres putaran keempat beberapa waktu lalu. Jika dilihat dari kondisi yang ada pada saat ini, Indonesia memang tidak sedang terlibat konflik dengan negara manapun di dunia. Yang jadi pertanyaan, bagaimana persiapan Indonesia jika masuk ke dalam pusaran perang modern di masa depan?
Konflik di wilayah sengketa seperti Laut Cina Selatan, merupakan salah satu peristiwa yang juga harus menjadi perhatian bagi Indonesia. Dikutip dari tirto.id, menurut Panglima TNI yang kala itu dijabat oleh Gatot Nurmantyo mengatakan, kerawanan berkonflik dengan Cina di Kepulauan Natuna, serta AS dan sekutunya Australia di Pulau Masela di Laut Timor. Lantas, seperti apa kekuatan dan kemampuan TNI jika terlibat dalam konflik peperangan modern di masa depan?
Kesiapan komponen pertahanan dan alutsista TNI saat perang menurut para pejabat RI
Dikutip dari tirto.id, Mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013 sempat berkata, jika Indonesia menghadapi perang, negara kepulauan ini hanya bisa bertahan tiga hari. Hal ini dikarenakan tanah air tak memiliki cadangan strategis BBM yang disimpan secara khusus. Terutama untuk hal-hal spesifik jika terjadi hal darurat seperti bencana alam atau konflik militer.
Tak hanya Susilo Siswoutomo di atas, Pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, juga memiliki pendapatnya sendiri. Menurut dirinya yang dikutip dari tirto.id, dukungan tempur buat memasok logistik bahan bakar untuk TNI agak payah jika terjadi peperangan. Itu artinya, Indonesia terancam tak bisa memaksimalkan potensi alutsista yang dimiliki jika konflik bisa pecah sewaktu-waktu. Bisa dibilang, kekurangan energi pendukung menjadi masalah serius yang bisa menjadi ancaman di masa depan.
Energi yang tak mencukupi untuk ‘menghidupi’ mesin perang militer Indonesia
Oleh Connie, alutsista diibaratkan sebagai sebuah kendaraan yang perlu energi seperti bahan bakar agar bisa bergerak. Dalam hal ini, berkaca pada piutang pembelian bahan bakar oleh TNI kepada Pertamina yang saat ini berkisar Rp. 10 triliun. Dilansir dari laman tirto.id, operasi patroli Angkatan Laut menjaga perairan Indonesia acapkali terhambat karena masalah di atas. Data dari Pusat Penerangan AL menyebut, satu unit kapal perang kelas fregat dengan panjang sekitar 100 meter butuh bahan bakar solar senilai Rp. 900 juta untuk biaya patroli sehari penuh.
Namun bila mengikutkan armada dalam jumlah besar, sudah barang tentu jumlah biaya yang dikeluarkan juga bertambah. Terlebih wilayah patroli yang luas, mau tidak mau harus menambah kapal agar bisa terjangkau dengan baik. Laman tirto.id menuliskan, TNI AL diberi jatah 13 persen dan hanya bisa mengoperasikan 7-15 kapal, padahal posisi kapal berpatroli bisa sebanyak 60-70 kapal. Bisa dibilang, utang kepada Pertamina membikin patroli dibatasi.
Persiapan TNI jika terjadi perang yang menyeret Indonesia di dalamnya
Menurut Curie Maharani yang dikutip dari tirto.id, pemerintah Indonesia telah melakukan hal tepat terkait dengan memperbaiki kelemahan militernya. Seperti meningkatkan kapabilitas surveillance yang diperkuat untuk memonitor semua ruang udara dan maritim dan kemampuan intercept dan kekuatan pemukul kini sudah diperkuat sehingga tak hanya bisa mendeteksi musuh yang masuk wilayah Indonesia, tapi juga bisa dicegat dan dipukul mundur.
Meski demikian, kekuatan militer Indonesia tak hanya dibangun lewat penggunaan teknologi dan alutsista canggih, tapi juga bisa dengan kedekatan personilnya dengan rakyat. Kedekatan TNI dengan masyarakat sipil di Indonesia, bisa menjadi perhitungan tersendiri jika perang memang benar-benar terjadi. Seperti ungkapkan oleh mantan Panglima TNI Moeldoko yang dikutip dari tirto.id mengatakan, TNI memiliki ketahanan, ideologi, dan doktrin mumpuni serta sanggup hadapi ancaman itu dengan mudah asalkan tetap bersama rakyat.
BACA JUGA: Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia dan Tiongkok yang Bagai Cupang dan Paus
Perang modern memang menjadi sesuatu yang patut menjadi perhatian bagi jajaran TNI ke depannya. Tak hanya sekedar melakukan peremajaan di sektor alutsista dengan peralatan yang lebih canggih, tapi juga memperhatikan ketersediaan energi agar bisa digunakan untuk menjalankan benda-benda militer tersebut. Meski dalam kondisi damai, tak ada salahnya jika mempersiapkan segalanya sejak dini.