Salah satu bentuk kesetiaan yang luhur hingga detik-detik terakhir kehidupannya di dunia fana ini, ada pada sosok Mbah Maridjan yang menjadi juru kunci selama puluhan tahun. Seperti yang dituliskan laman tirto.id, ia ditemukan tak bernyawa di dalam rumahnya sendiri di kawasan Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hingga detik-detik akhir kepergiannya, Mbah Maridjan tak hanya meninggalkan jabatan sebagai juru kunci Gunung Merapi. Tapi juga sebuah pelajaran hidup akan kesetian seorang manusia pada titah sang Raja untuk berkorban demi tugasnya. Walau hal tersebut juga menuntut nyawa sebagai taruhannya.
Juru kunci Gunung Merapi yang mengantikan sang ayah
Mbah Maridjan yang lahir pada 1927, banyak menghabiskan hidupnya hanya d wilayah Kinahrejo. Dilansir dari tirto.id, ia bekerja sebagai penjaga Merapi dengan pangkat Mantri Juru Kunci yang menjadi asisten sang ayah. Ia bahkan diangkat sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta pada 1970 silam. Saat sang ayah tiada, status Maridjan pun naik menjadi juru kunci Gunung Merapi sejak 3 Maret 1982.
Menjadi seorang Abdi Dalem paling setia
Kesetiaan Maridjan sebagai juru kunci dibuktikan oleh ketidaksetujuannya pada saat ada wacana pembangunan tanggul di kawasan lereng Merapi pada 2001. Bupati Sleman pada saat itu, Ibnu Subiyanto, hendak membangun tanggul dan bak besar untuk menampung tumpahan lahar dingin hasil erupsi Merapi. Laman tirto.id menuliskan, Maridjan menolak dengan alasan menyalahi kodrat semesta yang ia percaya memiliki hubungan terkait satu dengan lainnya.
Sosok yang menghormati harmonisasi alam semesta
Penolakan Maridjan bukan tanpa alasan. Diketahui, sosok dirinya merupakan pemercaya kosmologi. Di mana Ia meyakini alam sudah mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa untuk menghadirkan keharmonisan dan keseimbangan semesta. Sumber dari tirto.id menyebutkan, Gunung Merapi yang ia jaga sepenuh hati merupakan salah satu bukti kuasa alam paling megah di tanah Jawa. Baginya, ada hubungan saling menjaga dan melindungi di lingkaran Merapi. Inilah yang ia yakini hingga ajal menjemuputnya.
Rela berkorban nyawa demi titah sebagai ‘penjaga’ Gunung Merapi
Saat Merapi mulai menunjukan gelagatnya pada 2010 silam, Mbah Maridjan pun ikut bersiap sedia sebagai juru kunci kepercayaan keraton. Jika memang harus berkorban demi tanggung jawabnya memegang titah Sultan HB IX, ia rela dan tetap menyerahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa. Laman tirto.id menuliskan, sang juru kunci bahkan menolak Sultan HB X untuk ikut mengungsi saat terjadi erupsi. Tercatat, penolakannya pertamanya adalah pada 2006 silam.
Gugur sebagai juru kunci yang tetap memegang sumpah setianya
Hingga pada 2010, Mbah Maridjan kembali menolak untuk dievakuasi untuk kedua kalinya. Mengingat, posisinya sebagai juru kunci yang masih memegang titah sang raja. Padahal, Merapi menyemburkan lava serta awan panas ke berbagai arah, disertai letusan yang berlangsung terus-menerus. Suara gemuruhnya bahkan terdengar sampai Kota Yogyakarta, juga hingga Wonosobo yang berjarak lebih dari 50 kilometer. 26 Oktober 2010, erupsi Merapi mencapai puncaknya. Mbah Maridjan tetap teguh pendirian, berdiam diri di dalam rumahnya, hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa dalam posisi bersujud. Ia berpulang menghadap sang khalik dengan janji yang masih terus dipegang olehnya.
BACA JUGA: Juru Kunci dan Peranannya dalam Menghubungkan Dunia Manusia dan Gaib di Tempat Keramat
Tak semua orang dapat memegang sebuah kesetiaan seperti sosok Mbah Maridjan di atas. bahkan hingga di akhir kehidupannya pun, titah raja yang diembankan pada dirinya masih terus dipegang. Hal ini sekaligus membuka pikiran kita, sudah seharusnya kita menjalani kehidupan ini dengan tetap memegang amanah yang diberikan pada kita.