Gempa yang terjadi di Palu dan sekitarnya memang menyisakan berbagai pertanyaan seputar bencana. Salah satunya salah adalah likuifaksi, di mana fenomena alam ini menjadi perbincangan hangat karena banyak memakan korban. Akibatnya pun memang fatal. Dilansir dari regional.kompas.com, wilayah Petobo dan sekitarnya langsung disulap menjadi kota mati akibat peristiwa tersebut.
Likuifaksi sendiri merupakan sebuah fenomena alam berupa cairnya struktur tanah akibat guncangan gempa dan volume air yang meningkat. Dalam ilmu mekanika tanah yang dilansir dari tempo.co, istilah “mencair” pertama kali digunakan oleh Allen Hazen mengacu pada kegagalan Bendungan Calaveras di California tahun 1918. Hazen menjelaskan mekanisme aliran pencairan tanggul tersebut, dalam jurnal Transactions of the American Society of Civil Engineers edisi tahun 1920. Lantas, apa sebenarnya likuifaksi itu?
Proses mencairnya tanah yang lumrah terjadi
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho yang dilansir dari republika.co.id mengatakan, likuifaksi merupakan sebuah fenomena alam akibat guncangan gempa yang dapat mempengaruhi kondisi material geologi tanah.
Volume air yang membesar, membuat struktur tanah menjadi gembur dan memperlemah ketahanannya. Alhasil, benda di atasnya seperti rumah, pohon dan jalan raya seolah ikut bergerak secara perlahan seiring terjadinya likuifaksi tersebut. Itulah mengapa banyak penduduk yang melihat bangunan di sekitarnya seolah berjalan dan amblas ke dalam tanah tak lama kemudian.
Bahaya yang ditimbulkan oleh likuifaksi
Karena menyebabkan pergerakan tanah yang liar, fenomena alam seperti likuifaksi tentu menjadi sesuatu yang berbahaya. Karena pondasi geologis bumi yang lebih banyak bermuatan air, benda-benda di atasnya seperti bangunan, pohon dan jalan raya pun akan ikut hanyut dan terbenam hingga ke dasar secara perlahan. Dilansir dari republika.co.id, likuifaksi juga bisa disebut sebagai muntahan lumpur yang keluar dari atas tanah.
Seperti yang terjadi di Petobo dan sekitarnya, wilayah yang dulunya padat dengan pemukiman penduduk itu, kini terlihat rata dan tak tersisa adanya tanda-tanda kehidupan. Terlebih saat dilihat dari ketinggian, Petobo bak kota mati yang tak bisa lagi digunakan sebagai tempat hunian. Dilansir dari kumparan.com, Menteri Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rumah (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan bahwa wilayah terdampak likuifaksi itu tak bisa direhabilitasi dan warganya harus dipindahkan.
Fenomena likuifaksi Palu menurut Ilmuwan AS
Fenomena likuifaksi yang terjadi di Palu setelah gempa berkekuatan 7,4 skala Richter menguncang, membuat para ilmuwan asing terkaget-kaget. Meski dinilai lumrah terjadi, namun yang ada di Petobo dan Balaroa dianggap sangat menakutkan. Ahli Geologi dari Universitas Saint Louis AS, John Encarnacion, yang dikutip dari tempo.co menjelaskan, ada banyak suara-suara aneh saat terjadinya likuifaksi di daerah Petobo dan Balaroa.
Dirinya juga sempat menyangka bahwa wilayah yang terdampak oleh likuifaksi adalah bekas hantaman tsunami. Saat dijelaskan lebih jauh, kedua bencana itu sebenarnya disebabkan oleh pemicu yang berbeda proses. Datangnya tsunami sendiri disebabkan oleh permukaan laut yang terganggu akibat gerakan patahan atau tanah longsor di bawahnya. Sedangkan likuifaksi terjadi karena tingginya sedimen tanah akan kandungan air akibat guncangan oleh gempa.
Bencana alam yang telah diprediksi sejak 2012 silam
Fenomena likuifaksi yang terjadi di Petobo dan sekitarnya, ternyata telah jauh-jauh hari diprediksi oleh para ahli pada 2012 silam. Tak tanggung-tanggung, hasil riset itu bahkan menghasilkan Peta Zona Bahaya Likuifaksi untuk daerah Palu dan sekitarnya. Di mana hasil dari penelitian telah diserahkan pada Pemda setempat.
Dilansir dari tekno.tempo.co, peta prediksi likuifaksi itu disusun berdasarkan dengan memperhitungkan dua faktor, yakni pemicu dan kondisi kekuatan tanah dalam menahan gempa. Di dalamnya, terdapat tiga keterangan sangat tinggi, tinggi, dan sangat rendah-rendah yang menggambarkan probabilitas terjadinya likuifaksi. Bahkan, hasil riset itu masih mempergunakan SNI tahun 2010. Di mana terlihat wilayah Petobo masuk indikator ‘sangat tinggi’ dan Balaroa potensi ‘tinggi’ dalam peta tersebut.
Fenomena likuifaksi yang terjadi di Petobo dan sekitarnya, dianggap sebagai sebuah fenomena bencana baru di Indonesia. Padahal, kedua wilayah itu sejatinya telah diperingatkan oleh para ahli jauh-jauh hari pada 2012 silam. Entah karena kurang ditanggapi atau memang lupa pada peringatan secara ilmiah, korban pun akhirnya berguguran saat terjadi proses likuifaksi. Miris ya Sahabat Boombastis.