Hiperinflasi yang melanda Venezuela membuat kita bergidik ngeri tentunya. Bagaimana tidak, mata uang negara ini sudah tidak ada harganya lagi, bahkan oleh sebagian warganya dijadikan kerajinan tangan agar bisa dijual dengan harga lebih mahal. Harga barang-barang juga tak masuk akal, untuk membeli satu gulung tisu toilet saja, penduduk harus membawa segepok uang. Yang membuat terkejut lagi, daging ayam yang bisa kita beli di pasar seharga puluhan ribu menyentuh harga 2,6 juta di negara ini.
Untuk menyelamatkan hal tersebut pemerintah Venezuela mencetak uang Bolivar baru. Nah, ternyata dalam catatan sejarah, hiperinflasi yang dialami oleh Venezuela ini belum ada apa-apanya karena negara ini pernah mengalami yang lebih buruk lagi.
Hungaria, 1945-1946
Pada akhir Perang Dunia I, pecahnya Kekaisaran Austro-Hungaria membuat Hungaria menciptakan mata uang sendiri yang disebut Korona. Namun, tak bertahan lama nilai Korona berputar di luar kendali dan terjadi inflasi. Untuk menghentikan hal tersebut pemerintah menghapus Korona dan menggunakan Pengo pada tahun 1927. Pengo dipatok dengan emas, yang ketika itu disebut sebagai mata uang paling stabil. Nyatanya dengan Pengo, Hungaria memang mampu melewati depresi ekonomi, sayang serangan dari pasukan Hitler membuat Hungaria hancur secara ekonomi dan Pengo-pun jatuh. Yang dialami Hungaria ini tercatat paling buruk sepanjang sejarah, dengan inflasi harian 207 persen. Saat ini Hungaria menggunakan Forint, rencananya pemerintah akan melakukan transisi mata uang ke Euro pada tahun 2020.
Zimbabwe, November 2008
Perekonomian Zimbabwe berada di tepi jurang kehancuran pada tahun 2008-2009 lalu. Krisis ekonomi yang melanda membuat mata uang Zimbabwe mengalami hiperinflasi. Inflasi bulanan yang melanda negara ini pada 2008 mencapai 7,9 miliar persen, hal tersebut berdasar pada penelitian Ekonom dari Cato Institute. Merosotnya perekonomian tersebut tak lain karena kebijakan sang presiden, Robert Mugabe. Distribusi lahan pada akhir 1990-an dan awal 2000an menggiring Zimbabwe kekurangan bahan pokok kronis, harga menggila dan bisa naik dua kali lipat setiap 24 jam. Pada 2009, transaksi dilakukan menggunakan mata uang negara lain, yaitu Dolar Amerika (USD) dan mata uang Afrika Selatan yaitu Rand. Saking tidak berharganya mata uang Zimbabwe ini, 35.000 triliun dolarnya hanya setara USD 1.
Yugoslavia, tahun 1993-1995
Negara ketiga yang mengalami hiperinflasi paling suram sepanjang sejarah adalah Yugoslavia pada 1993-1995. Perang Yugoslavia, pecahnya negara, dan destabilisasi umum adalah penyebab utamanya berada di ambang kehancuran. Tak tanggung-tanggung, tingkat inflasi harian negara ini mencapai 65 persen. Hiperinflasi ini membuat pemerintah membuat jaringan toko berharga murah. Segala keperluan masyarakat menjadi sulit, termasuk bahan bakar. Tak heran, jika rakyat Yugoslavia memilih lebih memakai kendaraan umum karena tak mampu beli bahan bakar. Harga barang yang melonjak parah membuat pemerintah membuka pasar gratis, lagi-lagi hal tersebut tak membantu dan membuat Yugoslavia menderita selama bertahun-tahun.
Tiongkok, tahun 1947-1949
Siapa sangka jika negara yang merupakan pusat perekonomian serta maju seperti Tiongkok juga pernah mengalami hiperinflasi parah. Pada Oktober 1947 hingga Mei 1949, inflasi negara ini mencapai 14%, harga barang-barang meningkat dua kali lipat setiap lima hari. Hiperinflasi ini terjadi pasca Perang Dunia II meletus. Kala itu, terjadi perang saudara kubu Nasionalis dan Komunis bertempur berebut kekuasaan. Kedua kubu ini mengeluarkan mata uang masing-masing dan saling melemahkan pihak lawan yang berakhir dengan terpecahnya sistem moneter negara itu. Kubu Nasionalis yang memiliki hutang banyak memacu inflasi, hingga pada 1949 bank sentralnya pernah mengeluarkan mata uang 6.000.000.000 Yuan. Bayangkan saja betapa banyak angka nolnya Sahabat Boombastis!
Beberapa kasus hiperinflasi di atas jelas membuat masyarakat berada di ambang kesusahan. Harga barang mahal namun stoknya juga kadang terbatas, tak heran serangkaian potret memilukan kita lihat seperti yang dialami Venezuela. Rakyatnya sampai makan makanan sampah, daging busuk, serta mendesak digaji dengan makanan untuk bisa tetap bertahan hidup.