Bukan lagi hal aneh kalau di masa remaja seorang anak melakukan kenakalan sejadi-jadinya. Mulai dengan bolos, menyontek dan hal yang tak seharusnya dilakukan lainnya. Bukan karena apa, hal itu memang dikarenakan mereka masuk dalam fase mencari jati diri, agar dapat lebih diakui di masyarakat dan keluarga.
Bicara soal kenakalan remaja, tentu kamu ingat dengan istilah cabe-cabean yang sempat viral dulu. Meski banyak yang menganggapnya negatif, namun siapa sangka kalau zaman penjajahan dulu juga ada fenomena serupa. Agar kamu lebih jelas, inilah beberapa fakta mengenai cabe-cabean itu.
Istilah cabe-cabean yang mulai marak pada akhir 2014-an
Jika dulu cabe sangat lekat dengan bumbu yang menghasilkan rasa pedas di lidah, beberapa tahun belakangan artinya mulai bergeser. Tepatnya sekitar tahun 2014-2015, istilah mengenai cabe-cabean mulai berkembang di masyarakat. Ya, istilah ini sendiri merujuk pada para gadis di ajang balap liar.
Masih belum diketahui mengapa justru ‘cabe-cabean’ yang digunakan untuk menyebut mereka, namun yang pasti sampai saat ini pun istilah ini masih tetap digunakan. Dilansir dari Wikipedia, tidak hanya sebagai penyemangat saja para ABG ini berada di arena balap liar, kadang mereka juga bisa jadi bahan ‘taruhan’. Oleh sebab itu saat ini istilah yang satu ini selalu lekat dengan image yang negatif.
Ada beberapa jenis ‘cabe’ yang sering ditemui di kehidupan sosial
Layaknya cabe yang ada di pasar, ternyata para ‘cabe-cabean’ ini punya jenis tersendiri. Ya, mereka dibagi menjadi beberapa kelas tergantung dari ‘kasta’ dan pola kehidupannya. Dilansir dari Wikipedia, ada tiga jenis ‘cabe’ yang mulai dari hijau, merah dan orange. Cabe hijau merupakan kasta tertinggi, para ABG bahkan gadis bawah umur yang memiliki gaya modis.
Biasanya mereka aktif di media sosial bahkan memasang tarif. Sedangkan cabe merah adalah para ABG yang lebih berani dengan memakai pakai mini serta menunjukkan lekuk tubuh. Umumnya mereka biasa ditemui di beberapa tempat ramai atau klub malam. Dan yang terakhir adalah cabe orange, para gadis di arena balap, biasanya mereka memakai pakaian mini serta berboncengan tiga.
Praktek cabe-cabean yang ternyata ‘warisan’ dari zaman kolonial
Siapa sangka kalau fenomena serupa cabe-cabean ini sudah ada bahkan mulai pada zaman kolonial. Dilansir dari Okezone, pengamat budaya Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudin mengatakan kalau sejak dulu kasus serupa sudah ada bahkan pada masa penjajahan. Masalah ekonomi dan keseksian diri tentunya menjadi penyebab mereka melakukan hal yang seperti itu.
Buktinya dulu ada istilah ‘Nyai’ yang pada tahun 1800-an berkonotasi negatif. Bahkan berdasarkan karya Raden Mas Tirtoadisuryo, Nyai Ratna adalah gadis ABG umur belasan tahun dan sempat menjajahkan diri seperti yang dilakukan cabe-cabean.
Setelah cabe-cabean, maka terbitlah terong-terongan di masyarakat
Tak selang lama dari viralnya cabe-cabean, siapa sangka muncul lagi tren yang gak kalah nyeleneh. Ya, istilah terong-terongan yang sempat viral di masyarakat. Kalau cabe-cabean berfokus pada kelakuan ABG yang sering bonceng tiga dan nongkrong di balapan liar, maka terong-terongan justru merujuk pada kenakalan remaja laki-laki.
Beberapa orang menyebut terong-terongan ini untuk para remaja laki-laki yang bersikap kemayu layaknya seorang wanita. Namun sebaliknya, ada pula yang mengatakan kalau terong-terongan merujuk pada remaja yang sangat doyan berbuat kenakalan seperti berkelahi dan minum-minuman keras.
Memang baik istilah cabe-cabean dan terong-terongan sempat membuat stigma negatif pada remaja Indonesia. Namun jika dipikir lebih lanjut, mereka melakukan semua ini hanya semata untuk mencari jati diri. Oleh sebab itu, ketimbang ingin diakui namun berbuat hal yang merugikan pasti bakal lebih bijak kalau membuktikan diri dengan prestasi.