Profesi sebagai tukang ojek, belakangan ini sangat diminati oleh masyarakat. Berkat adanya teknologi, para driver yang biasa disebut ojol itu, dengan mudahnya mendapatkan penumpang dengan cepat tanpa harus repot. Namun, agaknya hal tersebut bertolak belakang dengan tukang ojek yang berada di Puncak Jaya, Papua ini.
Di tengah sulitnya medan dan logistik yang minim, driver tangguh tersebut rela mengantar pelanggannya demi mencari pundi-pundi Rupiah. Tak hanya itu, ancaman nyawa melayang pun kerap meneror para ojek yang rata-rata merupakan warga perantauan. Seperti apa kisah para ojek tersebut? simak ulasan berikuti ini.
Cerita getir para perantau yang mengadu nasib di seberang lautan
Pulau Jawa yang telah penuh sesak oleh lautan manusia, seakan tak lagi memberikan harapan yang ideal untuk mencari nafkah. Tak ayal, pilihan merantau ke negeri orang pun diambil demi menjaga agar asap di dapur tetap mengebul. Ha inilah yang dialami oleh Hasan Basori, salah seorang ojek perantau asal Jember, Jawa Timur. Gemerincing rupiah yang menjanjikan di tanah Papua, membuatnya rela meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Terlebih, usia sudah berkepala lima dan terkena PHK, membuatnya tak punya pilihan lain.
Modal kecil dengan keuntungan yang besar
Melihat rekan-rekannya sukses menjadi pengojek di Puncak Jaya, Hasan Basori tertarik pula untuk melakoni profesi tersebut. Dengan modal sewa motor Rp 50.000 per hari, ia sanggup menghasilkan Rp 200.000 – 300.000 dalam sehari dengan menjadi tukang ojek. Bisa dibayangkan tarif ojek terendah berkisar Rp 10.000. Sementara untuk tarif menengah dan jauh, bisa dikenai tarif Rp 200.000 hingga Rp 700.000 sekali jalan. Potensi pendapatan yang menggiurkan bagi siapa saja.
Ancaman nyawa melayang di tengah perjalanan
Namun siapa sangka. Dibalik gelimang hujan rupiah, ada hal mengerikan yang sewaktu-waktu dapat mencabut nyawa para ojek tersebut. Daerah Puncak Jaya yang dikenal rawan terjadi konflik militer dan perang suku tersebut, menjadi momok tersendiri untuk para pengojek. Tak main-main. Mereka bisa saja kehilangan nyawa, terutama bagi pendatang. Salah satunya adalah, seorang tukang ojek Puncak Jaya yang tewas diterjang peluru kelompok bersenjata setelah mengantar penumpang di Distrik Mewoluk.
Biaya hidup yang membuat mereka menjerit pedih
Disamping faktor keamanan, biaya hidup yang kian melambung tinggi juga menjadi tantangan tersendiri bagi tukang ojek. Kondisi geografis Puncak Jaya yang sulit dijangkau lewat jalur darat, membuat kebutuhan bahan pokok menjadi mahal lantaran harus dikirim lewat udara. Meski terasa getir, Hasan tetap mengojek dan menanggung segala resiko yang ada. Bayangan keluarga di pelupuk mata, menjadi tujuan utama agar nafkahnya dapat membiayai hidup mereka yang tinggal di pulau seberang.
Persaingan ketat yang semakin memperkecil pendapatan mereka
Tak hanya itu, perjuangan mereka sebagai tukang ojek menjadi lebih berat dibandingkan sebelumnya. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya warga pendatang yang juga menggeluti profesi serupa. Imbasnya, jumlah tukang ojek yang semakin banyak, turut menggerus pendapatan mereka selama ini. Jika 4 tahun lalu masih terdapat 10 orang, kini jumlahnya meningkat hingga 40 orang di Puncak Jaya. Meski pendapatan tinggi, biaya hidup dan jumlah ojek yang semakin banyak, membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.
Meski terkenal dengan kekayaan alam dan panoramanya yang indah, Papua, khususnya Puncak Jaya, menyimpan banyak cerita getir di dalamnya. Selain fenomena penduduk yang serba tertinggal, kisah perjuangan para perantauan tersebut, menyisakan kisah getir tersendiri. Semoga pemerintah Indonesia, mau melihat dan memberikan lapangan pekerjaan yang layak, agar mereka tak perlu lagi bertaruh nyawa demi sesuap nasi.