Garis takdir manusia, merupakan rahasia Tuhan paling besar yang tak akan diketahui setiap makhluk ciptaan-Nya. Hal itulah yang dialami oleh Zaini Misrin, seorang TKI asal Pulau garam, Madura. Demi mengangkat nasib dan ekonomi keluarga, ia rela mengadu nasib hingga ke Arab Saudi.
Yang miris, alih-alih menikmati kesuksesan di negeri orang, Zaini harus menghadapi kenyataan pahit. Ia tersangkut dengan sebuah kasus pembunuhan warga lokal Arab Saudi, yang berujung hukuman pancung terhadap dirinya. Seperti apa perjuangan dan kisah miris Zaini Misrin tersebut? simak ulasan berikut.
Pilihan merantau demi membangun perekonomian keluarga
Berangkat menjadi seorang TKI ke Arab Saudi pada 1992 silam, Zaini Misrin mencari nafkah sebagai Supir mobil pribadi. Ia memilih merantau ke tanah Arab karena membutuhkan modal untuk membuka usaha toko. Pada 2001 lalu, Zaini sempat kembali dari perantauan dan membuka sebuah kios kecil yang kini berada di samping kanan rumahnya. Namun sayang, pada 13 Juli 2004, ia ditangkap aparat kepolisian Arab Saudi karena kasus pembunuhan yang dituduhkan pada dirinya.
Tuduhan pembunuhan awal petaka bagi dirinya
Ketika ditangkap, Zaini dituduh telah menghabisi nyawa sang majikan, Abdullah bin Umar Muhammad al-Sindy di Mekkah. Tak pelak, kasus pembunuhan tersebut menyeret dirinya hingga menjadi pesakitan di Arab Saudi. Proses hukum pun bergulir. Hingga pada 17 November 2008, Pengadilan Arab Saudi memberi vonis hukuman mati pada Zaini. Ia dikenai hukuman pancung karena tindakan pembunuhan yang dilakukan olehnya, tergolong sebagai kasus kriminal berat.
Penerjemah bahasa yang membuat Zaini meregang nyawa
Pemerintah Indonesia melalui KJRI Jeddah, berupaya melakukan pendampingan pada Zaini. Selama proses sidang, ia didampingi mulai dari Oktober 2009 hingga 2014. Lembaga Migrant Care mencatat, Zaini ternyata mendapat tekanan untuk bersaksi atas pembunuhan tersebut. Terkena hukuman cambuk dari Kepolisian, ia dipaksa mengakui tindakan kriminal yang disangkalnya selama ini. Karena Zaini masih belum lancar berbahasa Arab, sang penerjemah yang mendampinginya, juga ikut-ikutan menyuruh ia agar segera mengaku. Alhasil, vonis mati pun harus diterima oleh Zaini.
Eksekusi mati di tengah proses hukum yang masih berjalan
Tepat pada pukul 11.00 waktu setempat, Zaini harus berpulang selama-lamanya ke pangkuan Tuhan. Ia dieksekusi mati atas tuduhan pembunuhan yang sering dibantahnya tersebut. Padahal, saat itu berkas PK atau peninjauan kembali, masih berjalan. Setelah kasus tersebut berputar-putar hampir 13 tahun lamanya, nafas Zaini akhirnya harus terhenti di ujung pedang Algojo pemerintah Arab Saudi. Yang miris, eksekusi mati tersebut dilangsungkan dengan cepat, tanpa pemberitahuan kepada pemerintah RI dan keluarga Zaini terlebih dahulu.
Sempat kirim uang dan pesan terakhir kepada anak-anaknya
Sebelum dieksekusi mati, Zaini diketahui pernah mengirimkan uang sebesar Rp 18 juta sebagai modal usaha membuka toko. Selama mendekam di penjara Umumi Kota Mekkah, Zaini mampu mengumpulkan pundi-pundi Riyal sebagai tukang cukur rambut. Dari profesi itulah, ia mampu menghasilkan uang. Yang mengharukan, sehari menjelang eksekusi mati, ia sempat titip pesan kepada anak-anaknya agar saling menjaga satu sama lain lewat sambungan telepon. Percakapan tersebut, sekaligus menjadi isyarat terakhir Zaini untuk pamit meninggalkan dunia fana ini.
Meski hukuman pancung terkesan tak berperikemanusiaan, kita bisa belajar dari sosok Zaini yang merupakan seorang pekerja keras. Meski sempat ditahan dalam penjara, Zaini masih mampu mencari rezeki dan mengirimkan hasilnya kepada keluarga. Selain sebagai sosok ayah, nyata Zaini merupakan figur pria yang tak melalaikan tugasnya sebagai pencari nafkah demi keluarga, bahkan di saat detik terakhir hidupnya. Selamat jalan Zaini Misrin.