Teknologi zaman “baheula” yang ada beberapa puluh tahun silam, kini menjelma menjadi layaknya sebuah “harta karun” bagi sebagian kalangan. Berada di antara kepungan benda-benda berteknologi canggih yang “kekinian”, pesona dari teknologi lawas tersebut terbukti masih mampu “membius” masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda.
Meski tak lagi banyak beredar dan ditemukan, benda-benda yang pernah “hits” pada zamannya itu, mempunyai nilai historis dan kemampuan “jadulnya” yang sering dirindukan banyak orang. Terbukti beberapa benda tersebut masih terlihat digunakan dan beberapa bahkan dijadikan sebuah bisnis yang memperjualbelikan barang-barang “retro” tersebut.
Bernostalgia dengan kaset tape deck
Meski telah tergantikan dengan perangkat MP3 yang lebih halus dan praktis, pesona kaset tape jadul ternyata masih banyak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Selain unik, kaset pita ini juga menjadi “obat kangen” bagi mereka yang menyukai musik-musik lama.
Sebagai bukti, sekelompok anak-anak muda di Bandung mulai mencoba “menghidupkan” kembali eksistensi kaset pita tersebut. Salah seorang penjual yang bernama Jejen, mengaku jika ada sekitar 10-20 orang yang datang ke lapaknya. Kaset pita yang dijual pun bervariasi, mulai dari band era 70an hingga 2000an, disediakan olehnya. Harga kaset tersebut dibanderol mulai harga Rp 5 ribu hingga Rp 500 ribu. Semakin langka jenis kasetnya, semakin mahal harganya.
Kembali ke masa ‘tempo doeloe’ dengan piringan hitam
Zaman yang telah berubah, ternyata tidak memudarkan pesona klasik yang ada pada piringan hitam. Instrumen yang Berjaya pada era 50an hingga 70an tersebut, masih laku dan termasuk banyak diburu oleh kolektor di Indonesia.
Salah satu destinasi favorit untuk berburu Vinyl tersebut adalah pasar blok M di Jakarta. Tempat ini bahkan menjadi semacam “kiblat” bagi para pecinta piringan hitam tersebut. Harga yang ditawarkan pun bervariaif, mulai dari kisaran Rp 200 ribuan hingga diatas Rp 1 jutaan. Tidak ketinggalan, Acara Record Store Day yang dihelat pada April 2017 lalu, menjadi “pengokoh” dari eksistensi alat musik jadul tersebut.
Kamera pocket klise yang tak lekang oleh zaman
Mungkin jika bosan dengan fotografi ala digital, kamera analog bisa menjadi “pelarian” sementara untuk berburu foto. Meski kemampuan mengambil foto yang terbatas dan kualitasnya tidak sebagus kamera digital, hal tersebut bisa menjadi “tantangan” tersendiri, terutama bagi penggemar fotografi.
Terbukti, ada berapa komunitas yang menggemari fotografi dengan kamera analog. Salah satu contohnya datang dari Wihinggil Prayogi yang merupakan pendiri Kamera Analog Jogja. Pemuda 27 tahun tersebut menuturkan, kamera analog merupakan hobi yang cukup “menguras” teknik fotografi. Kenapa demikian? Karena teknik fotografi analog ini dapat mengasah kecepatan dan kepekaan insting dalam menangkap sebuah momen. Cukup menarik ya.
Hape jadul jadi ‘obat kangen’ teknologi masa lalu
Derasnya teknologi seluler yang didominasi layar sentuh yang canggih, nyatanya masih belum sanggup “menggeser” popularitas Hape jadul di benak sebagian kecil penggemarnya. Meski tergolong teknologi “kuno”, Hape jadul tersebut justru sukses mengalihkan perhatian penggemarnya, lewat keunikan yang ada.
Salah satu komunitas yang cukup aktif di dunia Hape jadul ini adalah Banua Jadul Community (BJC) asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selain aktif mengadakan acara kopi darat, komunitas ini juga sering mengadakan pameran dan forum jual beli Hape jadul terhadap masyarakat yang berminat.
Mengetik masa lalu lewat mesin ketik bekas
Komputer dan berbagai perangkat digital yang canggih, benar-benar sukses menumbangkan dominasi mesin ketik tua yang sempat bertahan beberapa dekade silam. Hal ini terlihat dari semakin langkanya manusia modern abad ini yang menggunakannya.
Dibalik fenomena ini, terselip kisah haru dari seorang bapak yang bernama Nurhandoko Wiyoso. Pekerjaan sehari-harinya hanya sebagai tukang service mesin ketik lawas keliling. Di usianya yang menginjak 54 tahun, ia setia membetulkan setiap kerusakan mesin ketik milik pemerintah Kota Banjar yang telah menjadi pelanggan tetapnya. Dengan tarif rata-rata sebesar Rp 75 ribu hingga 250 ribu, dirinya berjuang bertahan hidup di era modern yang serba canggih.
Tidak selamanya barang jadul tersebut memiliki nilai minus di masyarakat modern. Terbukti dengan semakin banyaknya komunitas dan penggiat yang mencoba melestarikan barang-barang tersebut dari gempuran zaman, keberadaannya seolah tak akan habis terikis waktu. Selain itu, kegiatan yang melestarikan mencoba “menghidupkan kembali” benda tersebut, dapat memberikan wawasan positif agar senantiasa menghargai setiap karya yang pernah berjaya di zamannya.