Masih segar dalam ingatan kita perihal kasus plagiat tulisan yang dilakukan salah satu remaja Indonesia, kali ini publik kembali dikecewakan oleh klarifikasi Dwi Hartato, yang mengakui bahwa segudang prestasi yang pernah diakuinya hanya kebohongan semata. Selama ini, nama Dwi Hartato dikenal sebagai ‘Next Habibie’. Tak main-main, bahkan salah satu acara televisi nasional Indonesia juga pernah mengundang pemuda satu ini sebagai bintang tamu inspiratif.
Ketika kebohongan terungkap, netizen hanya bisa kecewa. Bahkan banyak yang ngerasa tak percaya, tapi apa mau dikata, yang bersangkutan sudah mengakui kebohongannya. Dan nyatanya, penerus kejeniusan Habibie tidak benar-benar ada. Miris memang, terlebih Dwi Hartato sudah kadung mendapat penghargaan yang levelnya nggak main-main. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa fakta Dwi Hartanto, pemuda yang sebelumnya membuat bangga Indonesia, tapi berakhir sebaliknya.
Bohong soal jati diri
Dwi pernah mengemas profil pendidikan yang pernah ia tempuh hingga sedemikian rupa. Sebelumnya, ia mengaku lulusan salah satu fakultas beken di luar negeri, tepatnya di Tokyo Institute of Technology, Jepang. Padahal, Dwi sejatinya merupakan lulusan dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri di tahun 2005.
Setelah lulus, Dwi memutuskan untuk mengambil program S2 di TU Delft, di Belanda, dengan tesis berjudul Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission. Berisi tentang sistem satelit, namun mengenai satellite data telemetri, dan ground segmen network platfrom-nya. Sementara saat ini, Dwi tengah menjalani program S3 di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems, di fakultas yang sama di Delft.
Bukan perancang Satellite Launch Vehicle
Selama menempuh pendidikan di TU Delft, Dwi pernah menyebut bahwa posisinya di sana adalah post-doktoral dan menjadi assistent professor di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda. Tak sampai di sana, sebelumnya media dengan begitu bangganya menulis artikel tentang Dwi Hartato, si jenius yang digadang-gadang sebagai penerus Habibie. Berita tersebut juga memuat bahwa Dwi merupakan perancang dari Satellite Launch Vehicle.
Namun akhirnya Dwi mengaku jika pemberitaan itu tidaklah benar. Ia hanya salah satu dari tim mahasiswa yang merancang subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE. Dia juga membantah adanya roket bernama TARAV7s. Tak ada ciptaan-ciptaan menakjubkan seperti yang telah diklaim sebelumnya. Miris memang, tapi itulah kenyataan.
Bohong soal menang kompetisi, dan memanipulasi template cek hadiah
Soal kompetisi dan kemenangan antar badan antariksa di Jerman pada tahun 2017, itupun nggak lebih dari sebuah kebohongan. Pada akhirnya, Dwi mengaku telah memanpulasi template cek hadiah, kemudian mengisi namanya serta nilai EUR 15000. Kemudian ia berfoto bersama cek palsu tersebut dan dibagikan melalui akun sosial media dengan klaim kemenangan.
Dwi juga mengaku jika Teknologi Lethal Waepon in the sky dan paten beberapa teknologi lain, tidak benar-benar ada. Nyatanya, Dwi tidak pernah memenangkan lomba riset teknologi dunia di Jerman pada tahun 2017. Segala macam hadiah yang dipamerkan dalam jejaring sosialnya hanya fiktif semata.
Penghargaan untuknya dicabut
Boleh jadi, Indonesia sempat luar biasa bangga pada Dwi Hartanto. Pemuda satu inilah yang nantinya membawa negara asalnya jadi lebih maju dan berkembang berkat temuannya yang luar biasa. Seiring berjalannya waktu, kebenaran terungkap. Segudang prestasi yang ditorehkan Dwi Hartanto ternyata hanya sebatas klaim. Maka, sudah sepantasnya jika penghargaan yang pernah diberikan untuknya dicabut.
KBRI Deen Haag mencabut penghargaan dengan dasar Keputusan Kepala Perwakilan RI untuk Kerajaan Belanda Nomor SK/029/KEPPRI/IX/2017 tentang Pencabutan Keputusan Kepala pada DR. IR Dwi Hartanto. Surat tersebut ditekan oleh Duta Besar I Gusti Agung Wekasa dan akhirnya ditetapkan pada 15 September 2017. Keputusan itu dipublish di laman resmi KBRI Den Haag pada 5 Oktober 2017 lalu.
Kesimpulan Psikolog
Dari rentetan kebohongan yang dikemukakan oleh Dwi Hartanto, Katarina, seorang psikolog menyimpulkan bahwa hal itu dilakukan memiliki dua kemungkinan, yakni menutupi kesalahan dan mendapatkan keuntungan pribadi atas dusta yang ia perbuat. Katarina juga memandang jika pengakuan kebohongan yang dilakukan oleh Dwi karena adanya unsur dari luar, yaitu kemungkinan besar kebohongan Dwi Hartanto memang sudah terbongkar, hingga tak bisa mengelak lagi.
Katarinya juga melanjutkan, bahwa kemungkinan besar dia mendapat tekanan dari lingkungan sekitar seperti kampus, ilmuan-ilmuan Indonesia. Saat ini, Dwi juga menerima konsekuensi kebohongannya dan menjalani banyak sidang etik yang dilakukan di kampus Delft, Belanda.
Yah, setidaknya Dwi sudah berani mengakui rentetan kebohongannya di depan publik. Keberanian tersebut patut diapresiasi. Meski kecewa, semoga kita bisa dengan bijak menerima tanpa harus menghujatnya secara berlebihan. Semoga insiden ini juga jadi pelajaran, bahwa kebohongan hanya akan mempermalukan kita sendiri.