Ketika lebaran sudah menjelang tiba, banyak orang yang bakal berbondong-bondong memburu baju baru. Oleh sebab itu bukan hal yang aneh kalau di penghujung ramadan banyak mall yang ramai pemburu diskon. Pemandangan seperti itu selalu terjadi di setiap tahunnya. Bahkan tiap tahun rasa-rasanya makin tinggi saja intensitasnya.
Tentang tradisi baju baru saat lebaran, mungkin kamu menganggap ini hanya semacam kebiasaan masyarakat saja. Padahal, ternyata ada sejarahnya lho. Orang-orang dulu nyatanya sudah melakukan hal ini. Namun seperti lazimnya orang dulu, apa yang mereka lakukan selalu mengandung nilai filosofis tertentu. Dan berikut ini adalah penjelasan tentang sejarah tradisi baju baru lebaran yang mungkin belum pernah kamu dengar.
Sudah ada sejak tahun 50-an
Ternyata tradisi baju baru saat lebaran ini sudah ada dalam buku Sejarah Nasional Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto loh. Diceritakan bahwa tradisi ini awal mulanya ada di daerah kesultanan Banten.
Kita tahu sendiri kalau Banten memang sangat erat dengan nafas Islam, bahkan pada waktu itu. Untuk menyemarakkan datangnya hari raya Ied, warga berbondong-bondong mencari baju baru. Untuk yang punya uang sih bisa tinggal beli di pasar. Namun untuk yang tidak punya duit, maka mereka harus menjahit dulu bajunya. Oleh karenanya, waktu itu banyak petani yang tiba-tiba alih profesi menjadi penjahit waktu lebaran datang.
Bukan hanya di Banten, di Yogyakarta juga
Ternyata waktu itu bukan hanya Banten yang memiliki tradisi serupa. Tepatnya di kerajaan Mataram baru, Yogyakarta, warga yang mayoritas muslim melakukan tradisi yang serupa. Terutama saat hari-hari terakhir bulan Ramadan, semua orang bersiap menyambut datangnya lebaran dengan baju baru.
Masyarakat di Yogyakarta juga berbondong-bondong untuk mencari baju baru baik beli maupun menjahit sendiri baju barunya. Setelah lebaran semakin dekat, malam takbiran diiringi cahaya obor di sana sini. Sejak saat itulah muncul pula tradisi takbiran keliling yang mirip dengan yang sekarang.
Budaya pukul bedug juga muncul pada zaman itu
Bukan hanya tradisi takbiran dengan baju lebaran baru, pukul bedug juga muncul pada zaman itu. Tidak seperti yang saat ini, tradisi bedug zaman dulu ternyata hanya digunakan untuk menandakan waktu buka ramadan terakhir. Selain itu juga sebagai penanda masuk tanggal 1 syawal agar seluruh penduduk tahu bahwa lebaran telah tiba.
Namun sekarang, budaya bedug ini sepertinya mengalami pergeseran. Kini bedug sudah ada di surau dan masjid-masjid digunakan untuk menandakan datangnya waktu magrib tiba. Ternyata hal itu sesuai dengan tradisi kerajaan sebagai penanda waktu sholat para anggota kerajaan. Hal itu bisa terjadi karena zaman dahulu belum ada penanda waktu, oleh sebab itu bedug digunakan sebagai pengingat warga.
Menjadi sebuah tradisi yang mengakar sampai zaman sekarang
Kini seolah tanpa adanya baju baru dan pukul bedug, lebaran serasa tidak seperti yang biasanya. Hal ini kemudian seolah jadi suatu hal yang wajib. Padahal tentu tidak. Tradisi baju baru lebaran sebenarnya punya esensi bahwa umat Islam sebisa mungkin merayakan idul fitri dengan meriah.
Karena pada dasarnya, lebaran merupakan hari raya di mana mereka yang telah berpuasa kembali suci seperti bayi, karena diampuni dosa-dosanya. Namun sayang zaman sekarang banyak orang yang salah mengartikan hal tersebut. Sekali lagi, merayakan datangnya lebaran adalah hal yang baik, namun bukan berarti harus menggunakan baju baru.
Seperti itulah, ternyata tradisi baju baru saat lebaran sudah ada sejak zaman kerajaan. Dan seperti tradisi kita umumnya, hal tersebut akhirnya terbawa sampai saat ini. Pakai baju baru di hari fitri tentu sah-sah saja, tapi perlu diingat bahwa esensi lebaran tidak hanya sebatas itu. Harusnya tak hanya outfit kita yang baru, dalaman alias hati juga selazimnya sama.