Biasanya, setelah menyatakan kemerdekaan, sebuah negara lebih mudah menyejahterakan rakyatnya. Namun hal ini tidak berlaku bagi Republik Sudan Selatan. Setelah merdeka dari Sudan pada tahun 2011, negara yang berada di Afrika Timur ini malah mengalami kemunduran. Konflik terjadi terus menerus tanpa henti sejak tahun 2013 akibat perebutan kekuasaan. Rakyat pun menjadi korban. Seperti pepatah yang terkenal di sana, jika dua gajah berkelahi, maka rumput-rumputlah yang menderita.
Ratusan ribu warga Sudan Selatan mencoba kembali ke Sudan. Sebagian lainnya bertahan di kamp pengungsian di perbatasan negara. Mereka yang mengungsi hidup jauh dari sejahtera. Tidak adanya pekerjaan membuat mereka tidak mampu membeli makanan dan tinggal di rumah yang layak. Akibatnya, mereka menderita berbagai penyakit.
Total pengungsi di Sudan Selatan mencapai 1,8 juta jiwa
1 juta di antaranya adalah anak-anak
Selain kelaparan, wabah kolera pun menghantui mereka
Kolera seringkali menyerang anak-anak dan orang dewasa di bawah usia 30 tahun
Fasilitas medis yang tidak memadai mengakibatkan banyak orang tewas akibat malnutrisi ataupun karena kolera
Mereka mendirikan rumah sakit darurat yang jauh dari layak untuk merawat pasien
Mereka juga terpisah dengan anggota keluarga lain yang mengungsi ke tempat yang berbeda
Meski hidup tidak sejahtera, kamp pengungsian masih lebih aman dibanding rumah mereka di kota
PBB dan negara tetangga mulai memberikan bantuan pangan dan obat-obatan bagi para pengungsi
Hingga kini tidak ada yang tahu kapan mereka bisa kembali ke rumah
Saat ini para pengungsi hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain
Sudan Selatan awalnya adalah negara yang subur dan sejahtera. Sungai Nil yang melintas di sana mampu menghidupi 12 juta penduduknya. Dibandingkan dengan Somalia yang mengalami bencana kekeringan, Sudan Selatan semestinya bisa menghasilkan pasokan makanan yang cukup banyak. Sayang, ketidakpedulian pemerintah membuat tanah di sana tidak terurus, pengiriman makanan dari kota ke kota pun sering terhambat, dan berakibat pada kelaparan.
Beberapa pengamat mengatakan Sudan Selatan memiliki potensi sebagai negara maju. Bukan hanya karena hasil pertanian yang melimpah, namun juga dari pariwisata yang mereka kelola. Sudan Selatan memiliki sabana yang cukup luas yang merupakan habitat alami binatang. Para pelancong bisa melakukan safari di sana dengan puas dan bersedia membayar biaya yang cukup tinggi. Jika saja perang saudara tidak terjadi, seluruh rakyat Sudan Selatan bisa menjalani hidup yang jauh lebih baik dari sekarang.