Kami sudah banyak memaparkan kisah memilukan negara kita ihwal putra-putri bangsanya yang lebih memilih untuk hidup di negara orang dan sukses besar di sana dengan menghasilkan berbagai penemuan dan inovasi yang luar biasa hebat. Kisah tersebut semakin panjang dengan kehadiran Prof. Dr. Ken Kawan Soetanto.
Siapakah beliau? Profesor yang satu ini adalah putra bangsa yang terkenal lewat konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan “Soetanto Method” serta 31 paten internasional buah karyanya yang tercatat resmi di pemerintahan Jepang. Mau tau kisah lengkap Ken Kawan Soetanto? Simak kisahnya di bawah ini.
Pantang menyerah menjadi ilmuwan meski hidup pas-pasan
Pria bernama lengkap Ken Kawan Soetanto atau nama Tionghoa Chen Wen Quan ini lahir di Surabaya tahun 1951. Awal bangku pendidikannya dimulai di Sekolah Dasar Kapasari. Kemudian ia melanjutkannya ke SMP Baliwerti dan SMA Budiluhur, sekolah yang saat itu diperuntukkan bagi kaum Tionghoa dan semuanya berlokasi di Surabaya.
Sebuah ujian datang ketika SMA yang ia tempati tiba-tiba ditutup. Tak mau menyusahkan orang tuanya, Ken kemudian mulai bekerja sebagai tukang reparasi radio di toko kakaknya. Di sela-sela kesibukannya bekerja, ia masih sempat menyempatkan diri untuk belajar secara mandiri.
Setelah merasa cukup ilmu dan modal, ia mulai berkeliling ke toko-toko elektronik yang ada di Surabaya. Dengan gigih dan sabar, ia tawarkan keahliannya kepada mereka yang awalnya tak percaya pada kemampuan Ken. Usahanya berbuah manis, ia mulai mendapat banjir order dan mampu mengumpulkan uang sedikit demi sedikit.
Meski usahanya terbilang lumayan, namun Ken tak puas. Ia merasa bahwa mimpinya masih belum terpenuhi. Ia ingin terus menuntut ilmu dan suatu saat dapat menjadi ilmuwan. Sadar bahwa tensi politik di Indonesia tengah bergolak, terutama erhadap etnis Tionghoa, ia pun mulai mencari cara untuk dapat menimba ilmu di negara yang lebih menjanjikan baginya, Jepang.
Hantaman cobaan yang datang silih berganti tak menyurutkan tekad bajanya
Awalnya, sang kakak menentang keputusan Ken. Namun, karena Ken bersikukuh, akhirnya ia luluh juga. Kakaknya bahkan ikut memberi ia “tabungan” sebagai bekal di Jepang sana dan berjanji untuk terus mengiriminya uang. Berbekal semangat dan tekad juang serta biaya seadanya, berangkatlah ia ke negeri Sakura.
Ken masuk ke Universitas Pertanian dan Teknologi di Tokyo sekitar tahun 1973 untuk mengejar S1. Perjuangannya yang berat mulai terasa sejak masuk kelas. Ia diremehkan oleh mahasiswa yang lain. Wajar saja, Ken saat itu sudah berusia 27 tahun. Di usia yang sama, orang-orang Jepang bahkan sudah mulai mengejar studi S3.
Petaka datang menghampiri Ken ketika toko elektronik kakaknya hangus dalam sebuah kebakaran hebat yang ikut meludeskan sekitar 4.000 toko lainnya. Dengan berat hati, sang kakak mengatakan bahwa dirinya tak lagi bisa mengirimi ia biaya hidup dan meminta Ken untuk melupakan saja impiannya menjadi ilmuwan dan pulang ke Indonesia.
Bukan Ken namanya jika ia menyerah begitu saja. Ia menolak untuk menyerah dan memilih untuk terus berjuang mengejar cita-citanya. Perkara biaya hidup, ia menggantungkannya pada usaha les privat yang saat itu penghasilannya hanya sepertiga dari total biaya bulanan yang dikirimkan oleh kakaknya.
Perjuangan hebat berbuah gelar akademik yang berjibun
Seiring berjalannya waktu, semua usahanya berbuah manis. Ia berhasil menyelesaikan studi S1, S2, dan S3 di universitas tersebut selama sembilan tahun lamanya. Setelah itu, ia juga mengincar gelar PhD. Hanya dalam waktu singkat, ia berhasil memperoleh gelar doktor dari Tokyo Institute of Technology (1985).
Tak tanggung-tanggung, ia juga berhasil menyempurnakan prestasinya dengan tiga gelar doktor lainnya dengan rincian: Doktor ilmu kedokteran dari University of Tohoku (1988), Doktor Ilmu Farmasi dari Science University (2000) dan terakhir Doktor Ilmu Pendidikan dari University of Waseda (2003).
Karier cemerlang dan dihargai oleh pemerintah Jepang
Selepas mengantongi gelar sebanyak itu, kariernya berjalan mulus bak kereta api Shinkanzen. Beliau tercatat sebagai direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) serta associate professor di Drexel University dan School Medicine di Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, AS.
Hebatnya lagi, ia juga masuk ke dalam jajaran birokrasi di Jepang dan ikut membidani konsep masa depan negara tersebut dalam rancangan bernama Government 21st Century Vision. Tugasnya di sana adalah untuk ikut menyusun kebijakan makro Jepang dalam menghadapi persaingan di masa mendatang.
Hingga kini, ia terus berinovasi khususnya dalam bidang keilmuan yang menjadi latar belakangnya, mulai dari rekayasa elektronika, teknologi informasi, hingga farmasi.
Kritik pedas menyoal sistem pendidikan Indonesia yang jauh tertinggal
Ken sempat pulang kampung ke Indonesia dan memberikan ceramah singkat di hadapan ratusan mahasiswa President University. Di sana, ia membeberkan pengalaman serta kiat dan siasat untuk dapat bersaing dan keluar sebagai pemenang di negara orang. Para hadirin begitu khusyu mendengar ceramah dari salah satu orang paling pintar di Indonesia ini.
Pria yang hingga kini masih memegang status warga negara Indonesia tersebut juga sempat mengkritik sistem pendidikan di Indonesia. Dengan nada berapi-api, ia mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia sudah jauh tertinggal. Bahkan oleh negara sekelas Malaysia hingga Vietnam sekalipun. Ia juga menyayangkan kecilnya gaji para pengajar di Indonesia, sehingga mereka harus mencari pekerjaan sambilan dan imbasnya berakibat buruk pada kualitas mengajar mereka.
Wajar apabila Ken melontarkan kritik keras semacam itu. Gaji guru saja sudah sangat kecil, apalagi dengan modal penelitian yang diberikan pemerintah. Maka, tak heran jika inovasi di negara kita mandek.
Lain halnya dengan Jepang. Pemerintah Jepang bahkan tak segan mengucurkan dana segar bagi Ken untuk penelitiannya. Kementerian Jepang mengguyur dana hingga $15 juta per tahun atau sekitar Rp200 miliar! Jumlah yang sangat besar bahkan untuk ukuran profesor asli Jepang sekalipun.
Itulah kisah singkat mengenai Ken Kawan Soetanto. Jangan salahkan beliau jika memilih untuk berkarier di negeri orang, Ia terpaksa melakukan hal itu lantaran ia ingin memberi sumbangsih bagi banyak orang. Dan ironisnya, semua fasilitas dan biaya untuk mewujudkan impiannya itu tak mampu didukung oleh negaranya sendiri, Indonesia.