Wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri perairan, mempunyai potensi alam yang melimpah lewat luas lautannya. Tak heran jika para Nelayan berbondong-bondong mencari “peruntungan” di kedalaman laut tersebut. Salah satu cara mereka mengeruk isi laut tersebut adalah dengan menggunakan Cantrang.
Menariknya, ada banyak pro dan kontra terkait pengunaan cantrang ini. Tak kurang, Menteri kelautan Susi Pudjiastuti juga sempat melarang penggunaanya tersebut. Alhasil, terjadi banyak penolakan datang , terutama dari Nelayan tradisional. Selain diguncang isu tidak ramah lingkungan, ada beberapa hal unik seputar cantrang d bawah ini yang belum banyak diketahui.
Mengenal Lebih Dekat Apa itu Cantrang
Di Indonesia, penggunaan cantrang sudah sangat umum. Alat tangkap ini biasa digunakan untuk “mengeruk” isi sekaligus dasar laut yang banyak dihuni ikan jenis Demersal. Ikan Demersal ini merupakan spesies ikan yang biasanya berada di lingkungan berupa lumpur pasir, bebatuan, dan lokasi yang jarang ada terumbu karang.
Cantrang ternyata merugikan bagi nelayan
Bukan tanpa alasan Menteri Susi yang sempat melarang penggunaan cantrang. Selain dapat merusak lingkungan, cantrang juga mempunyai “performa” jelek bagi Nelayan. Sebuah penelitian dari WWF-Indonesia menyebutkan, hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi. Yang ditangkap pun kebanyakan ikan kecil yang harganya sangat murah di pasaran. Jelas bahwa ini sangat merugikan Nelayan
Penggunaan cantrang jangka panjang dapat merusak ekosistem laut
Sistem kerja cantrang yang “mengeruk” hingga sampai ke dasar, juga dinilai tidak ramah lingkungan dan berpotensi merusak kehidupan biota laut. Selain menangkap ikan, penggunaan cantrang yang masif juga dapat merusak deretan terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan yang belum dewasa. Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan dan mengancam satwa laut lainnya.
Ikan akan cepat berkurang tanpa ada kesempatan berkembang biak ulang
Model jaring cantrang yang rapat, tentu menjadi masalah besar bagi biota laut yang belum “matang”, ketika terjaring alat tersebut. Cara kerja cantrang yang mengeruk dasar laut tersebut, dikhawatirkan dapat menyebabkan tetangkapnya sel telur ikan yang belum semestinya di panen. Hal inilah yang dapat mengurangi populasi ikan secara drastis. Hasil tangkapan Nelayan pun akan berkurang secara drastis dari biasanya.
Biaya operasional nelayan makin tinggi
Ketika penggunaan cantrang semakin meluas, hal ini akan berakibat pada semakin tingginya jadwal tangkapan yang akan dilakukan oleh Nelayan. Selain itu, akan ada ratusan bahkan ribuan Nelayan yang akan melakukan kegiatan “melaut” di lokasi yang sama. Karena populasi ikan dan padatnya kegiatan “mengeruk” tidak seimbang, tentu Nelayan akan mencari “lahan” lain yang lebih berpotensi. Perpindahan inilah yang menimbulkan biaya operasional Nelayan semakin tinggi.
Meski akhirnya penggunaan cantrang ini hanya diperbolehkan di kawasan tertentu, keputusan Menteri Susi yang sempat melarang “jaring kontroversial” ini juga bukan tanpa alasan. Selain ikut melindungi ekosistem laut, para Nelayan juga diberikan alternatif lain agar dapat meningkatkan hasil tangkapan ikannya tanpa menggunakan cantrang. Harapannya, semoga para Nelayan dapat kembali beroperasi tanpa harus merusak lingkungan.