Saat masyarakat di Indonesia berlomba-lomba melakukan salin dan tempel teks sumpah pemuda ke media sosialnya, seorang Bante dari Vihara Tri Ratna, Tanjung Balai, Sumatra Utara membuat sebuah postingan yang menggetarkan. Beliau menampilkan sebuah foto tentang prosesi penurunan patung Buddha setinggi 6 meter yang disaksikan oleh banyak orang.
Dari postingan itu, beliau juga menuliskan tentang banyaknya umat Buddha yang bertanya perihal penurunan patung itu. Mengetahui umatnya yang sedikit bingung dan kecewa, Bante itu menjawab dengan sangat bijaksana. Begini jawaban beliau: “tidak apa apa rupang (patung) Buddha turun, sing penting welas asihmu terhadap semua makhluk tidak ikut turun, semua makhluk hidup mendambakan kebahagiaan. Apabila dengan turun nya patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, maka bukankah doa khas umat Buddha yaitu ‘semoga semua makhluk hidup berbahagia’ menjadi kenyataan?”
Postingan yang yang dibuat oleh Bante bernama Karma Zopa Gyatsho ini mendadak jadi viral. Masyarakat di media sosial yang masih sibuk dengan sumpah pemuda dan tetek bengeknya sedikit teralihkan. Mereka jadi membagi berita ini ke banyak orang sehingga tanggapan yang beragam mulai bermunculan.
Ada yang prihatin karena menganggap intoleransi terhadap umat beragama di negeri mulai luntur, termasuk saya. Ada juga yang sekadar membagikan karena ikut-ikutan. Dalam sekejap mata berita ini menjadi viral dan banyak dicomot oleh kanal-kanal berita di tanah air.
Karena penasaran dengan berita yang cukup sensitif dan bisa memecah belah kerukunan beragama ini. Saya memutuskan untuk melakukan riset tipis-tipis terkait masalah ini. Dari berita yang muncul pada laman pertama Google (islamnkri.com) saya menemukan beberapa waktu yang cukup menarik untuk disikapi bersama-sama.
Fakta pertama yang saya dapat adalah protes dari penurunan ini sudah terjadi sejak tahun 2010 atau satu tahun setelah patung berdiri. Alasan mengganggu keharmonisan umat beragama lain menjadi pemicu protes ini. Fakta kedua yang saya dapat adalah BIMMAS dari Kementerian Agama RI mengeluarkan surat rekomendasi penurunan patung Buddha dan dipindahkan ke tempat lain yang terhormat.
Surat dari Kementerian Agama tersebut disayangkan oleh banyak umat Buddha. Pasalnya, selama berdiri, patung itu tidak mengganggu keharmonisan. Pasca didemo pun tidak ada orang yang melakukan protes lagi. Terakhir, pembangunan bangunan Vihara dan patung juga tidak melanggar izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan Walikota.
Lantas kenapa diprotes dan minta diturunkan?
Menurut hemat saya, selama tempat ibadah dan ritual di dalamnya tidak mengganggu umat beragama lain, kita tidak bisa tiba-tiba melakukan protes. Kalau patung itu mengganggu umat lain, mengganggunya dalam bentuk apa? Dalam hal tata ruang kota atau mengganggu keyakinan dari pemeluk agama lain? Saya tidak tahu dan tidak punya hak untuk menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salahkan. Tapi yang jelas, kita semua warga negara Republik Indonesia. Negara ini memiliki Undang-Undang yang mengatur banyak hal, termasuk masalah kebebasan beragama.
Oh ya, meski kasus seperti ini sangat disayangkan, umat Buddha dan masyarakat Indonesia tidak menanggapinya dengan keras dan penuh emosi. Bahkan, penurunan patung ini dianggap sebagai pelajaran bahwa berkorban untuk banyak orang itu hal yang sangat luar biasa. Seperti yang telah ditulis oleh Bante Karma Zopa Gyatsho di atas: ‘semoga semua makhluk hidup berbahagia’. Semoga kita semua bahagia dengan masalah apa pun yang terjadi.